Kisah Tiga Ekor Anjing dari Aceh

Kisah Tiga Anjing dari Aceh

Cerita ini kudapat sore kemarin ketika 'ladies day'.

"Duh, anakku mau piara lumba-lumba. Tapi kubilang itu terlalu besar nak untuk kita piara. Trus anakku bilang, dia mau piara anjing aja. Aduh, pusing dong, di mana di Banda Aceh ini cari atau beli anak anjing, secara Syariat Islam gitu loh. Tapi karena dia ngotot, kami pergi ke toko yang menjual binatang-binatang, yang biasanya jual burung atau kelinci gitu," ujar Musda temanku yang baru punya anak satu, laki-laki umur 4 tahun.

"Dapat anak anjingnya?" tanyaku.

"Ya enggaklah. Waktu sampe di toko itu, anakku tanya ke tukang penjualnya, apa dia ada jual anak anjing atau gak. Eh, kayaknya si tukang jualnya rada tersinggung gitu. Dengan agak marah dia bilang, di sini nggak jual anjing. Anjing itu najis nanti harus disamak.Aduh!" kata Musda lagi.

Kami masih tekun mengikuti omongannya. Musda menyeruput sangernya untuk memberi jeda bagi kami yang terkesima.

"Anakku tanya, apa itu najis dan apa pula itu samak ke aku," lanjutnya sembari menambahkan. Kemudian dengan bahasa yang menurutnya sederhana, dia kemudian menjelaskan pada anaknya apa itu najis dan apa pula itu samak. Anaknya bengong.

"Kok najis sih bunda. Kan anjing itu lucu," kata anaknya setelah mendapat penjelasan apa itu najis dan samak. Pasalnya menurut temanku Musda, anaknya mengenal anjing dari buku-buku cerita atau majalah-majalah anak-anak, yang memang menceritakan hal lucu, unik, juga hangatnya kasih sayang seekor anjing. Susah sekali memang menjelaskan kenapa anjing dianggap najis- sesuatu yang dinilai jorok dan kotor.

Akhirnya mereka pulang dari toko itu dengan membeli ikan mas koki dan seekor anak kura-kura hijau.

Ini cerita kedua.

"Bapakku akhirnya membuang anjing kami, karena tidak tahan dengan komplain dari tetangga kiri kanan. Belum lagi keluhan dari para tamu-tamu yang datang, karena digonggongin atau sandalnya dibawa kabur," keluh Mul, teman lain yang juga ikut duduk bareng kemarin sore.

Padahal menurut Mul, meski anjing mereka anjing kampung, secara fisik anjing mereka mirip dengan anjing labrador gitu. Setelah anjing mereka dibuang, tak berapa lama mereka mengetahui kabar kalau anjing itu mati. Anjing itu tergeletak di pinggir got di ujung jalan dekat rumah mereka. Kabarnya lagi kata Mul, anjing itu mati dengan cara diracun.Uf!

Kisah anjing yang ketiga lebih tragis lagi. Ini cerita dari teman kantorku yang kuceritakan pada mereka di sore kemarin itu.

"Gambar tiga ekor anjing anak temanku disilang sama gurunya. Disuruh ganti. Kata gurunya tidak boleh gambar anjing, anjing itu binatang haram, najis," ungkapku pada teman-temanku mengutip omongan teman kantorku.

Mereka bengong. "Kok bisa." kata Musda.

"Padahal waktu itu tema menggambar mereka menggambar makhluk-mahkluk ciptaan Tuhan. Lah, anjing itu kan makhluk Tuhan. Gawat deh memang pemahaman orang kayak gitu, apalagi guru, yang ngajarin anak-anak pula. Jadi, jangan kan bendanya ya kawan-kawan, hanya gambarnya saja pun tak boleh disentuh, najis, haram. Gurunya kemudian minta anak temanku untuk mengganti gambarnya dengan binatang lain, seperti kucing, kambing, atau sapi gitu," tandasku.

Usai ceritaku kami terdiam.

Betapa anjing didiskriminasi atas pemikiran picik sebagian orang di negeri ini, keluh kami bertiga. Bahkan anjing pun tak mendapat ruang untuk diakui keberadaannya. Makian 'anjing' juga menjadi sebuah gambaran betapa pikiran kita sudah menegatifkan tentang binatang ciptaan Tuhan itu. Kenapa misalnya ketika marah-marah kita tidak memaki, "Dasar sapi, atau dasar cicak!". Orang-orang acap mengucap makian untuk mengungkapkan kekesalan, kebencian, kemarahan pada seseorang biasanya selalu diungkapkan dengan kata , "Dasar anjing!"

Comments

Popular Posts