Hari Gini Masih Nanya Kartu Pos?


Beberapa waktu lalu isteri temanku yang keturunan Belanda, mengeluh. Begini katanya,” Ketika beberapa minggu aku sudah menetap di sini ( Banda Aceh, red), aku ingin sekali mengirimkan kartu pos bergambar daerah yang kutinggali sekarang. Tapi kau tahu tidak, aku sudah ke kantor pos, sudah ke kantor Dinas Pariwisata, sudah ke berbagai toko buku, ke tempat-tempat penjualan souvenir Aceh, dan tak satupun dari mereka yang menjualnya,” katanya dengan wajah sedih. “Dan kau tahu hal apa yang membuat aku begitu sedih, beberapa petugas di kantor pos itu sedikit mentertawakanku ketika aku bertanya tentang kartu pos bertema Aceh. Hari gini, masih nanya kartu pos, gitu kali ya pikir mereka,” lanjutnya lagi.

Sesaat aku terdiam. Masak sih, secara Banda Aceh Visit Year gitu loh, batinku. “Mungkin karena sudah era digital, jadi mungkin kartu pos sudah tidak laku lagi. Jadi, karena tidak ada permintaan mereka tidak mencetaknya,” jawabku berusaha menghiburnya.


“Meski era digital, tapi kartu pos itu punya taste tersendiri. Memang bisa saja aku meng-up date statusku di FB @Banda Aceh, gitu. Trus aku juga bisa up load foto-fotoku, tapi tetap aja aku ingin mengirimkan kartu pos. Ini soal taste atau mungkin orang Aceh ini kurang romantis ya,” tukasnya.

Duh, sebagai generasi baby boomers (mereka yang lahir antara 1946 hingga 1964) sepertinya dia terbawa romantisme masa lalu, pikirku lagi. Tapi usai pertemuan dan percakapan itu terus terang aku terus memikirkan tentang tak adanya kartu pos di ibu kota provinsi Aceh ini. Aneh juga ya, keluhku.


***



Ketika aku dan keluargaku masih tinggal di Ubud, Bali, bukan pemandangan aneh ketika turis-turis asing tengah menulis atau mengirimkan kartu pos di kantor pos. Rasanya, saban aku ke kantor pos, pastilah para turis asing itu berjubel mengirimkan kartu pos bergambar pemandangan atau kesenian Bali. Tak hanya sibuk mengirim, beberapa di antara mereka memborong kartu pos dengan berbargai gambar. Meski kadang kupingku mendengar ucapan sinis di antara mereka yang mengatakan bahwa sawah-sawah di Bali nantinya hanya bisa dilihat di selembar kartu pos, karena kian hari luas sawah kian menyusut sebagai akibat dari makin maraknya pembangunan hotel, perumahan dan juga bangunan lain.


Ingatan tentang turis-turis yang tengah sibuk mengirim kartu pos di Ubud itu menggangguku paska curhat temanku itu. Curhat temanku itupun kembali terngiang-ngiang, kartu pos yang dikirim itu bisa menjadi koleksi, dan menciptakan kesan-kesan visual mengenai tempat yang nun jauh di lain benua bagi orang-orang yang dikirimi kartu itu, dan kesan-kesan visual itu berbeda cita rasanya ketika kau melihatnya pada halaman FB-ku. Semacam kenang-kenangan yang menandai bahwa si pengirim telah berkunjung ke negara tersebut., katanya.


Ucapan-ucapan temanku itu tanpa kusadari kusanggah dalam pikiranku. Apa pentingnya kartu pos hari gini, ada email, sms, video call, camera digital, flickr. Plis deh. Pikiran itu membawaku pada kesimpulan bahwa kartu pos- hanya kenangan masa lalu. Tapi pikiran lain segera menyanggahnya. Halloooo, kartu pos itu beda lagi, at the least buat koleksi, bayangkan ketika sepuluh, dua puluh atau satu abad lagi. Bukankah kartu pos itu bisa jadi barang berharga di masa mendatang...



keterangan gambar :
Kartupos Netherlands Indies dengan inprint prangko William III, 5 cent, 1876-1888.

Pengirim: Edmond, Kota Radja(Banda Aceh).
Kepada: Herrn Bailo
Zadelmaker, 22...
Artillerie St, 428534
Kota Radja(Banda Aceh)
Cap pos: 21.12.1893.
Pengiriman dalam kota.

Comments

  1. padahal di Aceh potensi sejarah dan wisata cukup terkenal, semoga ini dibaca dinas terkait dalam melestarikan kartu pos :)

    ReplyDelete
  2. aku dong.. buat sendiri kartu pos tentang Aceh. Buat dikirim2.. Hehehe..

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts