Masjid Raya Baiturrahman

Saksi Sejarah Aceh dari Masa ke Masa

Masjid Raya Baiturrahman senja hari, Juli 2012. Foto: Nur Raihan Lubis
Dibangun persis di tengah kota, sehingga bisa terlihat dari segala penjuru dan mudah disambangi. Disebutkan mulai didirikan sejak zaman kerajaan Aceh dipimpin Sultan Iskandar Muda (1607-1636).  Namun ada juga yang menyebutkan bahwa mesjid ini dibangun pertama kali pada Pemerintahan Sultan Alaidin Mahmud Syah pada tahun 1292 (621 H). Ketika perang Aceh pertama pecah, Masjid Raya Baiturrahman dijadikan salah satu tempat pertahanan pejuang Aceh. Karenanya pada 6 Januari 1874, masjid raya Baiturrahman ini dibumi hanguskan Belanda. Sadar masjid punya nilai penting bagi penting masyrakat Aceh sekaligus siasat untuk mengambil hati orang Aceh, Belanda kembali membangunnya.  Karena dibangun Belanda, bertahun-tahun masjid ini tak mau digunakan, masjidpun akhirnya sempat dijadikan bar oleh Belanda. Kini, masjid ini ditasbihkan menjadi 1 dari 10 masjid terindah di dunia.

Sembilan Oktober 1879, peletakan batu pertama pembangunan masjid dilakukan seorang Qadhi Malikul Adil (Kadi Besar ) sebagai perwakilan masyarakat Aceh  dan disaksikan oleh Gubernur Militer Hindia Belanda di Aceh saat itu, G.J van der Heijden.  Arsitek Masjid Raya Baiturrahman seorang Kapten Zeni Angkatan Darat Belanda, de Bruijn dari Departemen van Burgelijke Openbare Werken (Departemen Pekerjaan Umum) di Batavia. Untuk menentukan arsitektur masjid, ia berkonsultasi terlebih dahulu dengan Snouck Hurgronje – seorang antropolog sekaligus orientalis Belanda- yang menjadi salah satu penasehat Kerajaan Belanda untuk urusan Perang Aceh. Selain itu dia juga banyak meminta pendapat para ulama. 

Masjid Raya Baiturrahman, 1890-an. foto: Koleksi Tropen Museum, Belanda

Kontraktor pembangunan masjid dikomandani Lie A Sie, seorang letnan yang berkedudukan di Banda Aceh pada waktu itu. Sementara, pengawasan pembangunan masjid dipercayakan kepada seorang insinyur bernama L.P.Luyke

Material untuk membangun masjid ini sebagian didatangkan dari Malaysia, batu marmer dari negeri Cina, besi untuk jendela dari Belgia, kayu dari Birma dan tiang-tiang besi dari Surabaya.
Pembangunan ini sebagai realisasi janji Belanda yang diucapkan dua tahun sebelumnya.  Gubernur Jenderal Van Lansberge menyatakan akan membangun kembali masjid baru sebagai pengganti. Pernyataan ini diumumkan setelah diadakan musyawarah dengan kepala-kepala negeri di sekitar Banda Aceh yang kala itu bernama Koeta Radja. 

Belanda sendiri punya kenangan khusus dengan Masjid Raya Baiturrahman ini. Di pekarangannya, ketika perang  Aceh babak pertama pecah, pemimpin pasukan Belanda Jenderal Mayor Johan Harmen  Rudolf Köhler, ditembak di pekarangan masjid pada 14 April 1873. 

“O, GOD, Ik ben gtroven ( Oh Tuhan aku telah kena), " seru Köhler  ketika sebuah peluru menembus dadanya. Lelaki berusia 54 tahun itu kemudian rubuh  di bawah pohon geulumpang    ( sterculia foetida).  Untuk mengenangnya, Belanda menyebut pohon itu dengan nama pohon Köhler atau Köhler boom. Sampai hari ini, meski sudah berganti pohon geulumpang yang lain, nama pohon Köhler tetap disematkan. Bahkan, prasasti peringatan tentang pertempuran maha dahsyat itu didirikan tepat di bawah pohon. Prasasti yang ditulis dalam bahasa Indonesia, Inggris dan Arab  ini dibuat semasa Aceh dipimpin Gubernur Ibrahim Hasan (1986 – 1993).


Kohler boom. Foto : Koleksi Tropen Museum, Belanda


 
Ketika selesai dibangun dan diresmikan oleh Belanda pada Desember  1883, masjid yang dibangun dengan konstruksi beton ini hanya memiliki satu kubah saja.  Sebelum dibakar oleh Belanda, masjid beratap rumbia dengan bentuk atap limat bersusun/berundak dan berlantai tanah liat yang sudah mengeras.

Usai dibangun, masjid tak langsung digunakan oleh masyarakat Aceh, dengan alasan yang membangunnya adalah musuh orang Aceh. Menurut Tengku Ameer Hamzah yang menjadi penceramah di masjid raya ini dan sekaligus juga pemerhati sejarah Islam di Aceh,  sekitar 10 tahun masjid tersebut tak dipergunakan usai dibangun Belanda. Cerita ini didapat Tengku Ameer Hamzah dari mantan Gubernur Aceh, alm. Ali Hasjmy (1957 – 1964 ). Karena tak pernah dipakai dan dibiarkan terlantar, akhirnya Belanda menjadikan masjid sebagai bar.  Meski begitu, Belanda terus mencari celah untuk membujuk rakyat Aceh agar mau mempergunakan masjid tersebut. Sampai pada akhirnya, tahun 1893, Belanda berhasil membujuk rakyat Aceh untuk menggunakan masjid tersebut sebagai tempat ibadah, melalui dua ulama Aceh, Tuanku Raja Keumala dan Teungku Hasan Krueng Kalee.  

Bagian interior ketika pertama kali dibangun Belanda. foto: Koleksi Tropen Museum, Belanda

 

Seiring waktu, dengan bertambahnya para jamaah, pada tahun 1935-1936, Masjid Raya Baiturrahman ini diperluas bahagian kanan dan kirinya dengan tambahan dua kubah.  Tahun 1975 kembali ditambah dua kubah lagi dan dua buah menara di bagian utara dan selatan.  Pada tahun 1967, Masjid Raya Baiturrahman sudah memiliki 5 kubah.  Perluasan kembali dilakukan pada tahun 1991 dengan menambah 2 kubah. Pasca tsunami 2004 dengan bantuan Kerajaan Saudi Arabia, beberapa bagian masjid diperbaiki dan direnovasi karena mengalami kerusakan.

Luas seluruh pertapakan Masjid Raya Baiturrahman mencapai 3,30 hektar dengan empat pintu gerbang. Masjid bisa menampung 10.000-13.000 jemaah di dalamnya dan bisa mencapai 25.000 jamaah jika menggunakan halaman. Kini masjid yang menjadi salah satu tujuan wisata Aceh ini memiliki 7 kubah dan  lima menara - satu diantaranya merupakan menara induk.

Para wisatawan yang ingin salat atau sekedar datang untuk melihat dan mengagumi masjid diwajibkan untuk memakai busana muslim. Bagi perempuan, hindari memakai pakaian yang ketat dan juga bercelana jeans.  Petugas masjid   beredar di mana-mana. Sehingga tak jarang akan meminta pengunjung untuk meninggalkan masjid jika dirasa pakaian yang dikenakan kurang sopan.  Di pintu gerbang masjid jelas tertulis jika pengunjung tengah memasuki kawasan berbusana muslim. 

Sign di pintu masuk. Foto: Raihan Lubis




Arsitektur Eklektik 

Arsitektur masjid bercorak eklektik - berpadunya ragam arsitektur terbaik dari beberapa negara. Serambi masjid ( porch) berbentuk segi empat panjang. Bagian depan, kiri dan kanan porch dikelilingi tangga yang membentuk huruf U. Jika kita masuk dari bagian serambi depan, maka  akan terlihat tiga bukaan yang dibentuk oleh empat tiang langsing model arsitektur Moorish. Umumnya, model masjid seperti ini terdapat di masjid-masjid Afrika Utara dan Spanyol. Antara kolom satu dengan lainnya dihubungkan dengan plengkung patah model Persia. Model pintu masuk tanpa pintu seperti  ini juga banyak ditemui pada masjid-masjid kuno di India. 

Bagian serambi (porch) masjid. Foto: Raihan Lubis


 
Pada bagian atas dan sisi plengkung ini, terdapat hiasan relief bercorak Arabesque. Sementara, di atas plengkung terdapat semacam tympanum yang berbentuk jenjang seperti penampang sebuah tangga. Corak ini merupakan model khas rumah klasik Belanda. Pada setiap jenjang dihias dengan miniature sebuah gardu atau cungkup, yang dihiasi kubah bawang pada bagian puncaknya.
Bagian dalam masjid setelah diperluas. Foto: Raihan Lubis

Salah satu plengkung. Foto : Raihan Lubis

Masuk ke dalam lagi, pada bagian tengah ruang salat yang merupakan salah satu ruangan pertama yang dibangun pada awalnya, berbentuk bujur sangkar. Di sisi kanan dan kiri sebelum atap terdapat kaca-kaca jendela berbentuk lingkaran.  Jika kita melongok ke atas, maka akan terlihat atap masjid berbentuk limasan berlapis dua.  Untuk jendela-jendelanya,  dihiasi  ragam hiasan yang dipengaruhi gaya Moorish.

Motif bergaya Moorish. Foto: Raihan Lubis




Begitulah keindahan arsitektur masjid yang sampai kini tak hanya digunakan untuk salat saja. Beberapa presiden Indonesia, seperti Habibie, Gusdur dan Megawati e pernah menggunakan masjid sebagai tempat untuk berdialog dengan masyarakat Aceh. Dus, ketika perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia dilakukan di Helsinki, Finlandia pada tahun 2005 lalu, ratusan masyarakat Aceh menggelar doa bersama bersama di masjid ini. 

Karenanya, bagi masyarakat Aceh, Masjid Raya Baiturrahman tak hanya sekedar landmark kota. Tapi juga turut menjadi saksi  arah dan gerak masyarakat Aceh dari zaman ke zaman.  

Karenanya, partisipasi masyarakat dan juga kepedulian pemerintah sangat diharapkan untuk terus menjaga keindahan dan kebersihan masjid. Apalagi pemerintah telah mengadang-gadangkan visit Aceh 2013, tentulah perhatian pada salah satu tujuan wisata ini harus dilebihkan lagi. Sehingga tidak hanya wisatawan saja yang bisa menikmatinya, tapi juga para anak cucu kita kelak masih bisa melihat jejak-jejak sejarah Aceh melalui bangunan masjid  
(nur raihan)


referensi :
http://www.acehprov.go.id/images/stories/file/Chik%20Di%20Tiro.pdf
http://melayuonline.com/ind/history/dig/290/masjid-raya-baiturrahman
http://books.google.co.id/books?id=drAuk8TSVkgC&pg=PA26&lpg=PA26&dq=perjanjian+sumatera,+perjanjian+siak&source=bl&ots=38mbFrA4ja&sig=Y0bNN9hS-Anri_MJrOS0DZwB0Zk&hl=id&sa=X&ei=mNIDUPnzGeHM6wHko4zyBg&ved=0CEwQ6AEwAg#v=onepage&q=perjanjian%20sumatera%2C%20perjanjian%20siak&f=false
 




Comments

Popular Posts