Atjeh Tram, Riwayatmu Kini

Atjeh Tram" di atas jembatan "Demmeni"
di Kutaraja (Banda Aceh), sekitar tahun 1895.
Sumber foto : KITLV Leiden
Mulanya, transportasi kereta api di Aceh yang dibangun Belanda sebatas untuk mengangkut logistik perang dan para serdadu. Tapi lambat laun, penumpang sipilpun diangkut. Pada 29 Desember 1919, kereta api dari Medan menuju Koetaradja ( Banda Aceh ) dan arah sebaliknya, diresmikan penggunaannya. Sayangnya, tahun 1982, penggunaan kereta api sebagai alat transportasi resmi dihentikan di Aceh karena terus merugi. Tetapi pada tahun 2000, pembangunan rel kereta api kembali mulai dikerjakan. Dua belas tahun kemudian, tak ada tanda-tanda rel kereta api bakal selesai. Pemerintahan Aceh yang baru pun terkesan ogah melanjutkannya, bahkan akan mengalihkan dana pembangunan rel kereta api untuk pembangunan irigasi.

Sementara kereta api sedang jalan, orang bisa melompat turun, kencing sebentar dan bersuci dengan daun lantas melompat lagi ke atas gerbong meneruskan perjalanan. Ini bukan isapan jempol, tapi sungguh-sungguh terjadi di Aceh di mana kereta api hanya mampu merangkak 25 Km per jam. Tidak aneh, sebab seluruh onderdil, rel, gerbong dan lok yang ada kecuali 8 lok diesel mini sumbangan Frans Seda dan 10 lok pampasan dari Jepang masih warisan ASM (Atjehs Staatsspoormaatschappij) se abad yang lalu. 

Sementara tahun berganti tahun, sudah lama kereta api tidak menjadi alat angkutan darat yang terpenting di Aceh. Seperti dikatakan Kepala PNKA (Perusahaan Negara Kereta Api) Eksploitasi Aceh, M, Djunaed yang hanya mampu mengumpulkan uang karcis 2 juta rupiah tiap bulan, "sekarang saingan datang dari jalan raya". Maksudnya: bis, trek dan mobil-mobil lain. 

Peresmian rel kereta api di Bereuenun, Pidie, 15 Juni 1906. Foto: Koleksi KITLV
Demikian dilaporkan Majalah Tempo pada edisi Oktober tahun 1972. Sesungguhnya laporan itu tidak berlebihan. Demikianlah adanya. 

Laporan pandangan mata itu dituliskan dengan begitu apiknya oleh empat wartawan Tempo yang waktu itu berkunjung ke Banda Aceh untuk meliput kegiatan Pekan Kebudayaan Aceh ke-2. Keempat wartawan itu,  Chairul Harun, Zakaria M.Passe, Burhan Piliang dan E.Bachri Sikum.
 
Masih dalam laporannya, para wartawan Tempo itu melukiskan kondisi trasportasi dan infrastruktur Aceh kala itu. 

Keadaan jalan-jalan raya dan jalan propinsi juga tidak berbeda banyak seperti ketika ditinggalkan Belanda, yang membuatnya semata-mata untuk mengangkut serdadu. Begitu juga jaringan kereta api. Itu sebabnya yang terbaik hanyalah jalur-jalur sepanjang pesisir Timur, yang menghubungkan Banda Aceh dengan Medan. Jalan-jalan ke pedalaman belum sempat difikirkan di tengah kesibukan baku tembak dan baku tikam. Begitu pula waktu T. Daud Beureuh. mulai menghunus rencongnya, tidak sedikit rel dan gerbong kereta menjadi mangsa api, sementara tiap tahun banjir menggilas jalan raya antara Langsa dan Lhokseumawe. Pemandangan ini lah yang terpampang di depan mata Pemda dan BPPA, ketika mereka berniat membangun landasan ekonomi daerah ini, 4 tahun lalu. Serta merta dibidiklah sasaran pembangunan jangka pendek tubuh Aceh yang penuh balur-balur perang: membangun prasarana, sebagai "urat nadi" pembangunan ekonomi.

Empat tahun berlalu, tapi wajah Aceh tetap belum banyak berubah. Gubernur Aceh sendiri kalau mau melawat ke Aceh Tenggara, lebih senang terbang dulu ke Polonia, kemudian naik mobil dari Medan ke Kutacane yang hanya menelan waktu 2 jam. Kalau ditanya apa sebabnya, tanpa tedeng aling-aling Muzakkir Walad hanya berkata "masih banyak yang begini-begini" sembari tangannya meliak-liuk melukiskan keadaan jalan. Atau menurut istilah orang-orang Aceh, "jalan-jalan di daerah masih banyak yang keriting". Dan di antara penggalan-penggalan jalan negara yang masih keriting dari 364 jembatan baru 120 buah selesai diperbaiki tahun ini, 12 biji atas biaya Pertamina.

Dari Atjeh Tram ke Atjeh Staats Spoorwegen ke Trans Sumatera Railway Development

Stasiun Kutaraja, 1895. Foto Koleksi Tropen Museum
Transportasi kereta api di Aceh pada awalnya dibangun Belanda sekitar tahun 1882 dengan nama Atjeh Tram (AT).  Perusahaan kereta api ini pada mulanya dibangun sebagai sarana mengangkut peralatan militer dari pelabuhan Ulee Lheue ke Kutaradaja – nama Banda Aceh saat itu.

Gerbong-gerbong kereta Atjeh Tram saat itu didatangkan dari Jerman. Rel-rel kereta yang dibangun menyatukan jalur menuju benteng pertahanan Belanda yang satu dengan yang lainnya. Selain mengangkut serdadu dan logistik seperti kuda dan juga peralatan tempur lainnya, Belanda juga punya kepentingan untuk terus memperkuat pertahanannya dengan mengawasi seluruh kawasan yang dilintasinya.

Pada tanggal 26 Juni 1874 rel kereta api pertama dibangun di kawasan  pelabuhan Ulee Lheue ke Kutaraja dengan rel kereta api sepanjang 5 km dan lebar spoor (rel) 1,067 m. Pada Agustus 1876, jalan kereta api Ulee Lheue resmi dibuka untuk umum dengan menghabiskan biaya 540.000 gulden.

Tahun 1885, jalur kereta api diteruskan hingga  Gle Kameng-Indrapuri, namun hanya mampu mencapai Lambaro dengan alasan keamanan. Lebar spoor dikurangi menjadi 0,75 m dengan panjang 16 km. Tahun 1886 dibuka jalur dari Kutaraja menuju Lamnyong. Kemudian dibangun juga jalur dari Krueng Cut menuju rumah sakit militer di kawasan Pante Pirak. Jalur ini digunakan untuk membawa orang luka dan sakit dari pos militer ke luar Aceh.

Kereta pengangkut jenazah untuk para serdadu Belanda. Foto : Koleksi Tropen Museum

Pembangunan salah satu ruas rel kereta di kawasan Sigli, sekitar tahun 1910. Foto : Koleksi Tropen Museum

Tak jarang rel-rel juga gerbong kereta milik Belanda ini diledakkan atau diserang oleh para pejuang Aceh. Seperti tercatat pada 28 Januari 1889, sebuah granat diledakkan para pejuang Aceh di lintasan rel kereta api di kawasan Lamara yang menuju ke Lampenerut. Tak hanya itu, jembatan kemudian juga dibakar. Akibat kejadian ini, Belanda memutuskan untuk tidak menyambung rel kereta ke beberapa kawasan karena kerusakan yang berulang kali akibat serangan para pejuang Aceh. Alasan lain, para pekerja yang didatangkan dari Jawa dan juga para serdadu yang mengawasi pembangunan rel sering mendapat serangan dari para pejuang Aceh.


Stasiun Kereta di Indrapuri, Aceh Besar, 1898. Foto: Koleksi Tropen Museum

Pasukan Marsose di kawasan rel kereta di Sigli, sekitar tahun 1900-an. Foto Koleksi: Tropen Museum

Bulan Januari 1898, jalur kereta api sepanjang 18 km diperpanjang hingga mencapai Seulimum dan dimanfaatkan untuk umum. Tahun 1900, Gubernur Van Heutzs merencanakan perluasan jalur kereta api Seulimuem-Sigli-Lhokseumawe. Biaya ditaksir untuk membangun jalur ini sebesar 3 juta gulden, biaya terbesar untuk membuat lintasan di pegunungan yang sangat berat. 

Tanggal 15 September 1903 jalur Beureunun – Lameulo sepanjang 5 km siap dikerjakan dan dibuka untuk umum. Tahun 1912, pertemuan jalur kereta api lintasan Deli Pangkalan Berandan - Aceh dimulai. Di tahun yang sama, jalur kereta api Langsa - Kuala Simpang resmi dibuka untuk umum

Pada tahun 1916, ketika situasi di Aceh sudah mulai benar-benar dapat dikuasi Belanda, pengawasan kereta api tidak lagi di bawah kekuasaan militer, tapi sudah mulai ditangani pihak sipil. Seiring itu, nama Atjeh Tram kemudian berganti nama menjadi Atjeh Staats Spoorwegen (ASS). Singkatan ini kemudian diplesetkan pada zaman itu menjadi Asal Sampai Sadja (ASS).

Pembanguan rel kereta mendatangkan pekerja dari Jawa. Foto diambil sekitar tahun 1910. Foto: Koleksi Tropen Museum, Belanda.

Pada 29 Desember 1919, persambungan kereta api Deli Spoorweg Maatschappij dengan lintas Aceh diresmikan pemakaiannya. Total panjang jalur kereta api Aceh 450 km dengan total biaya 23 juta gulden. Perjalanan dari Medan menuju Kutaraja ( Banda Aceh) memakan waktu 2 hari perjalanan.

Setelah Indonesia merdeka, transportasi kereta api di Aceh terus digunakan. Tetapi, pada tahun 1982, transportasi kereta Aceh resmi tidak beroperasi lagi di Aceh, karena terus merugi. Kereta api tidak mampu bersaing dengan sarana transportasi jalan raya yang sudah semakin baik kala itu. Ditambah lagi, onderdil kereta api semakin sulit dicari, karena banyak gerbong dan loko merupakan peninggalan zaman Belanda. 

Ketika Dana Pembangunan Rel Kereta Api Aceh (akan) Dialihkan

Pascareformasi 1998, BJ Habibie presiden kala itu mengeluarkan janji politik kepada masyarakat Aceh. Salah satu janjinya menghidupkan kembali  jalur kereta api. Pasca janji tersebut, pada tahun 2002 dibuatlah Rencana Umum Pengembangan Kereta Api Sumatera, yang merupakan hasil kesepakatan Gubernur se-Sumatera. 

Program Perkeretaapian Aceh merupakan bagian dari program Trans Sumatera Railway Development. Pembangunan jalan kereta api Aceh dianggap solusi tepat saat ini dan juga di masa depan, di mana angkutan kereta api ini bersifat massal, murah, aman dan efektif. Pembangunan kembali jaringan pelayanan kereta api Aceh diyakini memberikan dampak positif bagi masyarakat khususnya masyarakat Aceh.

Pelayanan tersebut akan semakin membuka dan menghubungkan kota-kota di Aceh dengan kota-kota di Sumatera Utara. Lintas jaringan tersebut juga nantinya akan terhubung dengan jaringan baru yang menghubungkan kota-kota di provinsi Riau, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung dalam satu kesatuan sistem Trans Sumatera Railway.

Tetapi apa lacur, beberapa jalur yang sudah mulai dibangun seperti jalur di lintasan Kabupaten Bireuen menuju Lhokseumawe sepanjang 14 kilometer, dibongkar karena dinilai mengganggu lintasan jalan raya yang akan dilebarkan.
'Monumen" Atjeh Tram di Banda Aceh, Foto diambil Juli 2012. Foto: Raihan Lub
Di Lhokseumawe, pembangunan rel kereta api ditolak mentah-mentah oleh anggota DPRK Lhokseumawe. Itulah sebagian kecil dari carut marutnya pembangunan rel kereta api di Aceh. Harusnya, jika berjalan sesuai rencana, maka pembangunan rel kereta api Aceh selesai pada tahun 2012 ini.

Anggaran yang telah digelontorkan menjadi sia-sia. Padahal, pembangunan transportasi kereta api ini bukan tanpa alasan. Pengembangan ekonomi, wilayah dan pengembangan transportasi sebenarnya menjadi alasan yang cukup kuat . Sayangnya, memang pada saat keputusan pembangunan kembali jaringan kereta api dilahirkan, kebijakan pembangunan Aceh dalam situasi yang sarat dengan kepentingan politis.

Ironinya, pada pekan lalu, Gubernur Aceh, Zaini Abdullah meminta agar dana yang selama ini dianggarkan pusat untuk pembangunan transportasi kereta api, akan dialihkan untuk pembangunan irigasi yang sangat dibutuhkan petani di Aceh. Permintaan Zaini tersebut disampaikan secara khusus saat diterima Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Prof Armida Alisjahbana.

"Tiap tahun kita hanya melihat rel kereta api-nya saja, tanpa pernah tahu kapan akan dilintasi kereta api,” kata Gubernur, seperti dikutip dari Harian Serambi Indonesia edisi 1 Agustus 2012.

Sayang seribu sayang. Idealnya, gubernur Aceh yang lama bermukim di Eropa ini berupaya mengembalikan kereta api Aceh, bukan sebaliknya. Sebagaimana kita ketahui, pembangunan jaringan kereta api di Eropa berhasil mengatasi masalah pengangkutan.  
'Monumen" Atjeh Tram di Banda Aceh. Foto diambil Juli 2012. Foto : Raihan Lubis

Tak hanya itu, sejarah mencatat, umumnya wilayah-wilayah yang dilintasi dan dijadikan stasiun, berkembang menjadi daerah yang ramai bahkan menjadi kota. 

Dengan adanya stasiun, akses ke suatu wilayah menjadi terbuka, perekonomian meningkat, serta mobilitas penduduk dan pemukiman terpacu. Bukankah ini sebuah peluang untuk membuka keterisolasian sejumlah daerah di Aceh ?

Irigasi penting, tetapi pembangunan trasnportasi kereta api juga penting rasanya -jika kita berniat ingin menjadikan Aceh sebagai daerah yang maju dan berkembang untuk masa yang akan datang. Lihatlah di kota-kota maju di belahan dunia sana, transportasi kereta api menjadi sebuah kemutlakan.

Dus,  jika rindu melihat loko di Aceh, kunjungilah halaman swalayan Barata di Jln. Sultan Alaidin Mahmud Syah, Banda aceh. Di pojok kiri bagian depan bangunan , teronggok sebuah loko tua peninggalan Belanda . Bolehlah berfoto-foto di dekatnya sembari berangan-angan. Hitung-hitung mengunjungi salah satu situs sejarah di Aceh. Karena di tempat itu dulu berdiri stasiun kereta api Kutaraja.

Spanduk di kantor PT KAI, Banda Aceh, Juli 2012. Foto: Raihan Lubis
Sementara itu, kantor Pusat Aset Non Produksi Wilayah 14 Aceh milik PT Kereta Api Indonesia (KAI), yang terletak di jalan Iskandar Muda, Banda Aceh, cukuplah mengurus kontrak dan sewa lahan PT KAI saja. Seperti yang diumumkan lewat spanduk yang dipasang di depan kantornya. Alamak.(nur raihan lubis)

Kantor PT KAI di Banda Aceh. Foto diambil Juli 2012. Foto: Raihan Lubis



Referensi :

http://oase.kompas.com/read/2011/07/21/10045816/Sejarah.Kereta.Api.di.Indonesia
http://wikipedia.org


Comments

Popular Posts