Wisata Sejarah Aceh
Puzzle Sejarah Di Kampung Pande
Disinoe asai muasai mula jeut Kuta Banda Aceh teumpat geupeudong
keurajeuen Aceh Darussalam le Soleuthan Johansyah bak uroe phon puasa Ramadhan
thon 601 Hijriah (Di sini cikal bakal Kota Banda Aceh, tempat awal asal mula
Kerajaan Aceh Darussalam, didirikan oleh Sultan Johansyah pada 1 Ramadhan 601
H). – Keterangan di Plakat Kampung Pande, Banda Aceh.
Sebagian makam di Kampung Pande masih memiliki jirat ( batu badan ) . Foto : Dendy F.Montgomery |
Nisan-nisan pada makam-makam tua di sekitar kawasan Kampung
Pande Kecamatan Kuta Raja, Banda Aceh, merupakan bukti tanda kejayaan Banda Aceh di
masa lalu. Sayangnya, nisan-nisan yang menjadi salah satu bukti dan jejak kemasyhuran
Banda Aceh ini, tak terurus dan terbengkalai. Dibiarkan meranggas dan tergerus sang
waktu.
Gampong atau Kampung Pande merupakan kampung tua, di Banda
Aceh. Lokasinya tepat berada di kuala sungai (krueng) Aceh. Persisnya di sisi
barat krueng Aceh yang berdekatan dengan Kecamatan Meuraxa dan Pelabuhan Ulee
Lheue. Kampung Pande diapit beberapa kampung tua lainnya. Kampung Jawa di
sebelah timur, Kampung Peulanggahan dan Keudah di sebelah selatan dan sebelah
utara berhadapan dengan pantai dan kuala krueng Aceh. Dari lokasi geografisnya, Kampung Pande merupakan kota
pelabuhan di zamannya.
View ke Krueng Aceh dari Kampung Peulanggahan Foto : Nur Raihan Lubis |
Mengutip tulisan Deddy Satria dalam jurnal Seri
Informasi Kepurbakalaan Arabesk Nomor I edisi XI, Januari – Juni 2011,
kata pande atau pandai berasal dari bahasa Melayu dan berarti orang yang
mempunyai keahlian dan ketrampilan khusus.
Pande yang dimaksud di sini yaitu
orang-orang yang mempunyai keahlian dan ketrampilan dalam menempa, mencetak
atau membuat benda-benda dari bahan logam, baik logam mulia, atau logam biasa.
Dalam Hikayat Aceh dan Hikayat Pocut Muhammad, kata ‘pande’ ditemukan.
Plakat Kampung Pande. Foto : bustanulsalatin.org |
Sementara, nama Kampung Pande hanya ditemukan di Hikayat
Pocut Muhammad yang disusun pada awal abad ke-18 Masehi. Seperti
ditulis Karel F.H van Langen yang berjudul Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan,
1986, Kampung Pande sudah dikenal sebagai kampung tempat pengrajin benda logam mulia dan batu-batu mulia.
Menyusuri kampung ini setiap jengkalnya, seolah membawa kita pada masa silam Banda Aceh- yang saat itu menjadi salah satu bandar besar. Datanglah ke kawasan ini, nikmati semilir angin lautnya.
Seharusnya, Kampung Pande yang merupakan salah satu kampung tua ini, dapat dijadikan lokasi sumber bagi sejarah perkembangan Aceh, khususnya Kota Banda Aceh. Karena kampung ini memegang peranan penting dalam perkembangan kota Banda Aceh baik di masa kini maupun di masa mendatang.
Seharusnya, Kampung Pande yang merupakan salah satu kampung tua ini, dapat dijadikan lokasi sumber bagi sejarah perkembangan Aceh, khususnya Kota Banda Aceh. Karena kampung ini memegang peranan penting dalam perkembangan kota Banda Aceh baik di masa kini maupun di masa mendatang.
Sebenarnya sudah ada usaha dari Pemerintah Aceh
lewat Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh Nias beberapa tahun lalu,
untuk mentasbihkan Kampung Pande sebagai muasal Kota Banda Aceh. Usaha itu
setidaknya terlihat dari plakat pertanda yang dipasang di Kampung Pande.
Nisan yang terbuat dari batu andesit di komplek makam tak bernama di Kampung Pande Foto: Dendy F.Montgomery |
Sebagian makam di Kampung Pande. Batu nisan bentuk gada biasanya dipakai pada makam pria Foto : Dendy F.Montgomery |
Sayangnya, sulit sekali menemukan plakat ini. Penduduk
sekitar Kampung Pande yang saya tanyai mengaku tak tahu menahu. Plakat yang
bertuliskan Disinoe asai muasai mula jadi Kuta BANDA ACEH, hanya bisa saya
temukan di beberapa situs yang mengulas tentang sejarah Aceh. Beberapa lokasi mangrove boardwalk yang katanya sudah mulai dibuat untuk menyusuri wilayah ini tak juga saya temukan. Sayang sekali memang, lembaga terkait tak meletakkan papan tanda
untuk menuju ke kawasan plakat atau mangrove boardwalk itu. Padahal Aceh tengah menggadang-gadang Visit Aceh 2013. Harusnya, kawasan ini menjadi salah satu prioritas utama untuk dibenahi. Karena kawasan tua masih menjadi salah satu lokasi kunjungan yang menarik buat wisatawan. Apalagi lokasinya yang tak jauh dari pusat ibukota Aceh.
Kembali ke palakat tadi, semula saya pikir pastilah plakat ini tak jauh dengan kedua makam. Maka sayapun berputar-putar di sekitar lokasi. Tapi upaya saya gagal. Syukurnya, saya menemukan hal lain. Komplek makam tak bernama. Kondisinya, sangat menyedihkan.
Kembali ke palakat tadi, semula saya pikir pastilah plakat ini tak jauh dengan kedua makam. Maka sayapun berputar-putar di sekitar lokasi. Tapi upaya saya gagal. Syukurnya, saya menemukan hal lain. Komplek makam tak bernama. Kondisinya, sangat menyedihkan.
Dari penyusuran saya, makam di sekitar tambak milik warga ini menyisakan banyak
cerita. Seperti misalnya banyaknya saya temukan pecahan keramik dari masa lampau di sekitar makam. Selain itu juga pecahan tembikar dan pecahan kepala
botol kaca berwarna hijau yang cukup unik. Pecahan-pecahan keramik ini dibiarkan berserakan di sekitar
tambak. Sedih sekali melihatnya. Sayangnya, saya tak punya pengetahuan tentang
keramik. Tapi dari corak, bahan dan juga pewarnaannya, saya yakin betul jika
keramik dan tembikar-tembikar yang saya temui berasal dari masa silam.
Pecahan keramik di Kampung Pande Foto : Nur Raihan Lubis |
Pecahan keramik di Kampung Pande Foto : Dendy F.Montgomery |
Pecahan keramik di Kampung Pande Foto : Dendy F.Montgomer |
Dari beragam referensi yang saya temukan tentang kawasan
Kampung Pande, salah satu artikel yang
ditulis Deddy Satria di jurnal Seri Informasi Kepurbakalaan Edisi VII, November
2007 menyebutkan, salah satu artefak pada temuan lepas di Kampung Pande adalah
keramik Cina yang diperkirakan dari Dinasti Ming. Ciri-ciri keramik Cina dari
abad ke-16 ini ditandai dengan warna biru putih. Motif hias yang nampak dari beberapa pecahan keramik berupa hiasan motif bunga. Setelah melihat dengan teliti,
saya merasa pecahan-pecahan keramik yang saya temukan
sesuai dengan deskripsi di jurnal tersebut. Pecahan-pecahan
ini terangkat ke permukaan setelah tsunami mengaduk-ngaduk kawasan itu. Pecahan-pecahan keramik ini semakin terangkat ketika
lahan-lahan tambak dibuka oleh warga sekitar. Masih mengutip Deddy Satria, bukti-bukti peninggalan barang pecah belah ini menunjukkan hubungan antar negara, karena di masa itu, keramik-keramik dari Dinasti Ming merupakan keramik yang dipakai sebagai barang cinderamata.
Tsunami yang menghumbalang Aceh pada Desember 2004 silam
telah menghancurkan banyak hal – termasuk situs-situs sejarah Aceh. Tak
terbilang pada situs-situs makam tua yang terletak di sekitar kawasan Kampung
Pande. Kawasan ini sangat dekat dengan laut. Persis berada di bibir pantai.
Dari banyaknya makam tua yang diperkirakan ada sejak abad 15
dan 16 Masehi atau lebih awal lagi di kawasan ini, dua komplek makam sudah
diberi pagar- diberi papan nama sebagai pertanda. Makam Tuanku Di Kandang dan
Makam Putroe Ijo.
batu-batu nisan di makam Tuanku Di Kandang. Foto: Nur Raihan Lubis |
Makam-makam ini berada di bawah naungan Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala, Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata. Tetapi meski sudah
diberi pagar dan jalan ke lokasi makam relatif bagus, kondisi makam-makam
tersebut masih terbengkalai.
Ketika saya berkunjung di suatu siang ke komplek makam
Tuanku Di Kandang, komplek makam seluas kira-kira 120m2 itu sangat senyap. Rumput yang tumbuh liar sepertinya baru
dipotong. Mesin pemotong rumput masih tertinggal di dekat makam. Tetapi tidak
ada siapa-siapa di sana. Tidak sang pemotong rumput atau juga seorang juru
kunci makam. Sepi sekali.
Sejauh mata memandang, potongan-potongan nisan dan juga
batu-batu nisan yang masih utuh terhampar. Ditumpuk-tumpuk. Beberapa batu nisan
memiliki tinggi 1,5 meter. Dari bentuknya, mengutip keterangan dari Cloude
Guillot & Ludvik Kalus, ’Les Monuments Foneraires et l’Histoire du
Sultanate de Pase a Sumatra’, Cahierd’ Archipel 37, Paris, 2008, p.326-336, jenis
batu nisan di makam ini disebut dengan batu nisan plak pling. Nisan-nisan ini diperkirakan berasal dari pertengahan
akhir abad ke-15 M atau sekitar tahun 1460-an. M. Guillot & Kalus yang
telah membaca teks epitap berhasil membaca beberapa batu nisan jenis ini pada
lima batu nisan yang berada di pemakaman Tuan Di Kandang dengan kode TK ().
Batu nisan tersebut yaitu, (i) TK I/03, tahun 849 H. atau 1446 M.; (ii) TK
I/04, tahun 865 H. atau 1460 M., (iii) TK I/05, tahun 888 H. atau 1483-1484 M.;
(iv) TK I/07, tahun 862 H. atau 1458 M.; (v) TK I/19, tahun 865 H. atau 1461 M.
Periode batu nisan plakpleng yaitu dari tahun 1446 s/d 1484 M. Tapi sayangnya, informasi ini tak saya temukan di lokasi makam.
Para arkeolog dan ahli sejarah pernah melakukan penelitian
terhadap batu-batu nisan di komplek pemakaman ini. Salah satu bantu nisan
disebutkan milik Sultan Firman Syah, cucu dari Sultan Alauddin Johan
Mahmud Syah yang memerintah dari tahun 1267-1309. Dari nisan ini
akhirnya kemudian terungkap bawa kampung yang menjadi asal muasal Kota Banda
Aceh itu dibangun pada hari Jum’at tanggal 1 Ramadhan tahun 610 Hijriah atau 22
April 1205 Masehi. Jadi, tulisan pada batu-batu nisan itu bukan hanya hiasan
kaligrafi semata. Banyak terkandung informasi sejarah bersamanya.
Oleh seorang peneliti dari Malaysia Othman Mohd. Yatim, yang dituangkan dalam buku Batu Aceh: Early Islamic gravestones
in Peninsular Malaysia, 1988, nisan-nisan
ini digolongkan pada nisan ‘Batu Aceh’. Disebutkan Othman,
'Batu Aceh' suatu penamaan yang diberikan orang Melayu, terutama di Selat Malaka
dan di Semanjung Malaya, terhadap batu nisan kuno yang dibuat di Aceh.
Batu-batu nisan ini umumnya berasal dari abad ke 15 sekitar tahun 1400-an
sampai abad ke 19 Masehi atau sekitar tahun 1700 – 1800an.
Sayangnya, keterangan seperti ini tak tersedia di sekitar
makam. Hanya ada papan nama yang menyebutkan kompleks makam tersebut merupakan
kompleks makam Tuanku Di Kandang. Tak ada juga keterangan siapa Tuanku Di
Kandang ini. Tetapi terlihat beberapa
nisan yang sudah dibongkar , diberi nomor. Mudah-mudahan ini menandai bahwa
segera akan ada keterangan atau kejelasan tentang nisan-nisan di komplek makam tersebut. Sehingga para pengunjung yang datang tak hanya melihat keindahan nisan-nisan tua ini, tapi juga mendapat ilmu pengetahuan tentang sejarah masa lalu Aceh.
Nisan tipe menhir. Badan nisan terbagi menjadi 3 panil, masing-masing berisi hiasan sulur-suluran Foto : Nur Raihan Lubis |
Meski demikian dari banyak literatur disebutkan, makam-makam di
kawasan Kampung Pande ini merupakan makam para raja Aceh, keluarga raja,
keturunan para raja, para laksamana dan juga para orang kaya di masa kerajaan.
Tak jauh dari
kompleks makam ini, ada kompleks makam Putroe Ijo. Dari beberapa literatur yang
ada, Putroe Ijo cenderung disebut sebagai sebuah legenda atau hikayat. Tapi
apakah Putroe Ijo ini terkait dengan makam, entahlah. Tak ada yang bisa saya tanyai
di sana. Sejumlah literatur tentang makam ini juga mengambang. Hanya
disebutkan, Putroe ( putri – dalam bahasa Aceh) merupakan putri dari tanah Deli
yang dipersunting raja dari Aceh.
Batu-batu nisan di komplek makam Putroe Ijo Foto: Nur Raihan Lubis |
Kompleks makam Putroe Ijo ini sudah dipagari, tapi dibiarkan
begitu saja-tak terurus. Lokasinya yang berada di sekitar rumah penduduk,
membuat pagar-pagar makam menjadi tempat menjemur pakaian warga sekitar makam. Menyedihkan.
Makam-makam ini, seperti makam kuno lainnya di Aceh, merupakan saksi bisu perkembangan sejarah peradaban Aceh yang tak ternilai harganya. Pemeliharaan dan pelestarian sangat penting dan harus disegerakan. Jika tak ingin anak cucu kita di masa depan, hanya akan melihat semua ini di jejaring dunia maya.
Pernyataan
dalam Hikayat Pocut Muhammad tersebut agaknya masih cukup relevan hingga kini.
Jika saja pemerintah dan masyarakat di Banda Aceh jeli, kawasan ini dapat
dijadikan sumber pendapatan pemerintah daerah dan juga warga sekitar. Karena,
Kampung Pande sebagai muasal Kota Banda Aceh, dapat dijadikan destinasi wisata
sejarah Kota Banda Aceh. Sayangnya,
peluang ini tak dikerjakan dengan sepenuh hati, tak juga dilengkapi dengan
kecintaan pada sejarah masa lalu Aceh. Karena jika memang ada kesungguhan dan
ada cinta, tentulah wisata napak tilas ke kawasan yang cukup kosmopolit di zamannya
itu, sudah ada sejak beberapa tahun lalu atau jauh sebelum tsunami menggerus
tiap jengkal tanah di Kampung Pande. (nur raihan lubis)
Mengutip Hikayat Pocut Muhammad dan Adat Meukuta Alam disebutkan, begitu sangat pentingnya kampung-kampung di kuala sungai dan di sekitar sungai
Aceh ini bagi pendapatan Sultan Aceh – karena sebagai tempat perdagangan dan
dekat dengan pelabuhan.
Referensi :
- Jurnal Seri Informasi Kepurbakalaan Edisi VII, BP3 Banda Aceh, November 2007
- Jurnal Seri Informasi Kepurbakalaan Edisi VIII, BP3 Banda Aceh, Mei 2008
- Jurnal Seri Informasi Kepurbakalaan Nomor I Edisi XI, BP3 Banda Aceh, Januari - Juni 2011
- http://admin.atjehpost.com/read/2012/05/17/9328/19/19/Menelisik-Puing-puing-Peninggalan-Sejarah-di-Gampong-Pande
- http://hurahura.wordpress.com/2012/07/29/karakteristik-kompleks-pemakaman-kuna-selaparang
- http://hurahura.wordpress.com/2011/04/11/peninggalan-samudera-pasai-kurang-terurus/
- http://iloveaceh.blog.com/?p=310
- http://sains.kompas.com/read/2011/06/07/03221322/Situs.Purbakala.Banda.Aceh.Tak.Terurus
- http://ww.atjehpost.com/read/2012/02/18/2545/19/19/Mangrove-Boardwalk-Napak-Tilas-Kerajaan-Aceh-Darussalam
.
Wow.. sayang bgt ya terlantar seperti ini.. Baru tau jg kalau di Gampong Pande masih byk peninggalan sejarah seperti ini. Keren tulisannya!
ReplyDelete