Wisata Edukasi

Belajarlah Sampai ke Tambak Garam




Fitri sedang menambah air laut
yang telah disaring untuk
selanjutnya dijemur . Foto : Nur Raihan Lubis

Asap mengepul - menyampaikan aroma asin dan sedikit anyir ke hidung kita. Meski agak pengap dan sirkulasi udara tak begitu baik, Hajjah Yusra, 58 tahun tak terganggu. Dia terus mengaduk-ngaduk tempat memasak garamnya dengan kayu panjang yang ujungnya diberi kaitan dengan sebuah saringan. "Sejak saya sudah bisa belajar jalan, sejak itulah saya sudah bisa membuat garam ini," katanya sembari terkekeh.

Tentu saja itu tak benar. Tapi begitulah ucapan Hajjah Yusra untuk mengkiaskan lamanya dia bergelut dengan asinnya garam. Usaha yang kini dijalankannya merupakan usaha turunan. Dulunya, tempat ini merupakan dapur masak garam milik orang tuanya.

Aku bertemu dengan Hajjah Yusra beberapa waktu lalu. Hajjah Yusra adalah penduduk di Desa Tanjungan Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen. Dirinya merupakan satu dari banyak perempuan pembuat garam tradisional di kawasan itu. Dibutuhkan sekitar 5 jam perjalanan dengan mobil atau bus dari Banda Aceh ke lokasi ini.



"Kadang kalau sudah tak dapat bibit garam, tak masak kita," akunya. Bibit garam yang dimaksud Hajjah Yusra adalah butiran-butiran garam yang ukurannya lebih besar dari garam biasa. Bibit garam ini didatangkan dari Madura.
Hajjah Yusra di dapur garam
miliknya di Desa Tanjungan
Kecamatan Jangka, Bireuen.
Foto : Nur Raihan Lubis

"Biasanya kalau tahun baru atau pas natal, susah kami dapat bibit garam. Karena pemasok dari Medan libur. Ya sudahlah, tak buat garam kita," terangnya.

Menurutnya, 'bibit garam' ini merupakan bahan campuran pembuatan garam. Garam dari Madura ini dibutuhkan untuk 'memancing' agar terjadinya proses pembentukan garam tidak memakan waktu lama. "Kalau tak ada bibit garam ini, susah kita buat garamnya. Susah jadi garamnya," lanjutnya lagi.

“Jika tak ada bibit garam ini, maka garam kami tak jadi.  Makanya, mau tak mau kami harus membeli bibit garam ini,” sambung Sufnir, 45 tahun, pembuat garam lainnya. Seperti tahun baru lalu dikisahkan Sufnir, mereka terpaksa berhenti memproduksi garam karena tak ada pasokan ‘bibit garam’ dari Medan. "Kalau hanya cuma mengandalkan air laut dari Aceh maka dipastikan tak akan banyak menghasilkan garam," keluhnya.


Di sebelah kanan merupakan
"Bibit Garam" dari Madura.  Butirannya
lebih kasar dari garam biasa.
Foto : Nur Raihan Lubis

Harga garam jadi yang mereka jual ke pengepul berkisar Rp 2,500 sampai Rp 2,800 per bambu. Sekarang, para perempuan pembuat garam di kawasan ini sudah membentuk sebuah koperasi " Rahmat Kamoe Meusira. Koperasi ini dibentuk agar para pembuat garam tak lagi dipermainkan harga oleh para pengepul. Selain itu juga, dengan bantuan salah satu lembaga, koperasi ini akan meningkatkan mutu garamnya dengan iodisasi garam. Maklumlah, pembuatan garam dengan cara tradisional ini tidak menyertakan kandungan yodium dalam pengelolahannya. 

“Kami jual sekitar 2500 perkilo dan sekitar 2800 perbambu. Tapi sekarang agen-agen itu tidak mau lagi perbambu, karena ukurannya selalu tidak tepat. Nanti bisa 9 ons, bisa juga 1,2 kg,” ujar Islamiah- Ketua Koperasi Garam, Rahmat Kamoe Meusira.

Tak ada posisi tawar dari para pembuat garam. Karena jika mereka harus menjual sendiri, bisa jadi tak balik modal. Untuk membuat garam, biasanya mereka membutuhkan kayu bakar sekitar satu mobil pick up sedang yang harganya bisa mencapai 200 ribu. Belum lagi membeli bibti garam. "Mudah-mudahan dengan sudah dibentuknya koperasi ini, kami punya posisi tawar dan bisa membantu pembuat garam lainnya," harap Islamiah,
Foto : Nur Raihan Lubis

Lain lagi kisah Fitri. Perempuan berusia 25 tahun ini membuat garam dengan cara menjemur. Tak banyak yang dihasilkannya, apalagi jika tengah musim hujan.

"Jika hari panas, bisalah sudah jadi garam 3 atau 4 hari. Tapi kalau musim hujan sekitar seminggu atau lebih," katanya sembari membolak-balik plastik penutup air laut yang sedang diproses menjadi garam.

Pemasaran garam yang dibuat dengan cara dijemur ini lebih susah lagi. Tak banyak yang mau. Karena jika dipakai untuk memasak rasa masakan akan menjadi pahit. "Kalau dipakai untuk membuat asam sunti, buahnya belimbingnya jadi berjamur," terangnya. Asam sunti adalah belimbing wuluh yang dikeringkan dengan cara menggaraminya, lalu dijemur. Masakan Aceh banyak yang menggunakan asam sunti sebagai salah satu bumbu pengganti tomat.

Dikatakan Fitri, para petani yang hendak membuat pupuklah yang biasanya menjadi langganannya. Kadang-kadang ada juga pengepul khusus yang datang selanjutnya akan menjual garamnya ke Medan. Untuk berat 1 bambu, Fitri menjualnya seharga Rp 500.



Pengepakan garam
Foto : Nur Raihan Lubis


Wisata Edukasi


Sejatinya, lokasi-lokasi seperti ini dapat dijadikan wisata edukasi untuk para pelajar atau siapapun yang berminat untuk tahu tentang pembuatan garam secara tradisional.  Karena tak hanya soal bagaimana membuat garam, tapi juga bisa tahu bagaimana rumus matematika kehidupan para pembuat garam. Selain itu, tak hanya untuk meningkatkan pengetahuan bagi yang datang berkunjung, kegiatan ini dapat juga dijadikan salah satu cara untuk mendatangkan income tambahan bagi para petani garam yang dikunjungi. 

Tapi memang tak mudah untuk merintis hal ini. Karena area wisata yang jelas-jelas ada saja terkadang susah dikembangkan Konon lagi untuk tempat-tempat semacam ini. Tapi tak apalah berharap. Jadi, bolehlah para guru atau orang tua yang peduli tentang pentingnya pengetahuan di luar sekolah untuk merencanakan jadwal field trip ke dapur dan tambak garam di Bireuen ini.  Hajjah Yusra dan Fitri pasti senang sekali dikunjungi. Seperti ketika saya datang, pulangnya diberi oleh-oleh garam :)  ( Nur Raihan Lubis )





Comments

  1. tulisan yang menarik dengan Photo essay yang bercerita. trims sudah berbagi

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts