Ketika Perdamaian itu Merapuh

Warisan konflik yang menyedihkan dapat dilihat di sejumlah komunitas di Aceh hari ini. Riwayat hidup para korban mengandung tanda-tanda seberapa besar ketidakadilan yang menimpa mereka, dan juga kesengsaraan yang terus mereka alami bahkan sampai hari ini. (Aceh setelah tsunami dan konflik: 2013 h.250 )

Tengku Abdulah Syafei bersama pasukan Inong Bale
Foto dipublikasikan di Majalah Gatra Edisi Juni 1999
Photo Credit : Nur Raihan (Raihan Lubis)
Seminggu sebelum pemilu 1999 digelar, saya turun ke Kabupaten Pidie di Aceh. Oleh Majalah Gatra, saya diminta untuk melaporkan kejadian menjelang Pemilu, menyusul permintaan beberapa lembaga seperti Kontras agar Pemilu di Aceh diundurkan. Boikot Pemilu juga kencang disuarakan di Aceh. Eskalasi kekerasan semakin meningkat. Korban tidak hanya di pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tapi juga di pihak TNI/Polri.


Adalah Tengku Abdullah Syafei yang saya temui ketika itu. Nama panglima perang GAM yang satu ini cukup bikin bergidik. Tetapi ketika sudah berhadapan dengannya, sosok seramnya tak kelihatan. Sesekali bicaranya memang keras dan tegas bahkan cenderung mengancam. Tapi senyumnya tak pernah lepas. Ketika mewawancarainya di sebuah tepi sungai, dia hanya mengenakan kemeja putih dengan bawahan celana panjang berwarna krem -sangat bersahaja. Baru ketika akan saya foto, dia bersalin baju, menggantinya dengan baju loreng miliknya.

Ingatan itu melintas dalam pikiran saya ketika eskalasi kekerasan semakin meningkat di Aceh dalam beberapa pekan terakhir. Pemilu tinggal menghitung hari. Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Aceh mengeluarkan seruan bersama. Mereka meminta semua pihak menjalankan Pemilu yang demokratis dan damai.

Perjalanan menuju perdamaian Aceh yang tak hanya banyak makan waktu, tenaga, tapi juga korban nyawa, rasanya tak sebanding dengan apa yang dilakukan oknum-oknum tak bertanggungjawab yang menebar teror saat ini di Aceh - demi setumpuk kursi kekuasaan.

Menurut mantan Kepala Misi Aceh Monitoring Mission (AMM) Piter Feith, dalam situasi pascakonflik, selalu ada potensi pecahnya gerakan menjadi faksi-faksi, yang dapat merongrong garis otoritas sentral di Aceh dan menimbulkan ketegangan regional. Tapi, tentu saja hal ini tidak boleh terjadi atas nama seluruh para syuhada - yang telah syahid dalam proses menuju perdamaian Aceh. Juga atas nama generasi penerus Aceh.

Ketika kesepakatan damai telah ditandatangani, senjata GAM dilucuti, tahanan-tahanan politik GAM dan mantan-mantan kombatan GAM diberi tempat, pasukan-pasukan TNI/Polri non organik ditarik dari Aceh, pemerintah melunak, proses rekonstruksi pascatsunami dilakukan, harusnya tak ada celah yang menjadi alasan untuk terjadinya kekerasan di Aceh. Kalaupun ada alasan untuk waspada, maka itu lebih jadi semacam pemicu  untuk terus merapatkan barisan - memperkuat pemeliharaan perdamaian di Aceh dan bukan sebaliknya.

Sebagai seorang ibu yang berdarah Batak dan telah melahirkan generasi-generasi Aceh masa depan - di mana anak sulung saya lahir di hari pertama pelucutan senjata GAM- saya tidak hanya ingin menyampaikan pada kedua anak saya tapi juga pada banyak orang Aceh di manapun, bahwa lahirnya perdamaian Aceh merupakan contoh luar biasa dari penyelesaian damai -
dari sebuah konflik vertikal berkepanjangan di sebuah negara bernama Indonesia. Dan itu layak dihargai juga diperjuangkan!




Comments

Popular Posts