Agam, Si Anak Gajah yang Bertahan Hidup

Agam menjalani perawatan.
Foto: Koleksi Peduli Raju - Bayi Gajah
Yatim Piatu di Aceh
Ibarat cerita Harry Potter, begitulah cerita Agam - seekor anak gajah berusia dua tahun yang kini berjuang agar tetap bisa bertahan hidup. 

Cerita Agam bermula pada Desember 2012 silam, ketika tubuh mungilnya tercebur di sebuah sumur tua di Desa Seuneubok Bayu, Aceh Timur. Untunglah warga secara tak sengaja menemukannya. Ketika ditemukan, tubuh mungilnya kuyup, kedinginan dan kelelahan setelah terjebak hampir semalaman di sumur tua itu. Tidak ada induk yang mendampinginya di sana. Warga yang menyelamatkannya memperkirakan, Agam terjatuh ke sumur tua itu ketika rombongan gajah melintas di kawasan tersebut. Karena tidak bisa ditolong, ibu dan kawanan gajah yang bersamanya diperkirakan meninggalkannya sendirian. Warga kemudian menyematkan nama Agam pada gajah mungil itu. Sekarang, Agam dirawat dan dititipkan di Pusat Latihan Gajah (PLG) Saree, Aceh Besar.

Sayangnya, karena terjatuh dan terkilir ketika tengah bermain pada pertengahan Mei 2014, Agam mengalami dislokasi tulang panggul kaki belakang. Tubuhnya yang berbobot hampir 415 kg itu tak dapat disangganya. Dokter hewan dari sebuah lembaga konservasi yang merawatnya angkat tangan, nyaris tak ada opsi untuk menolongnya.


Tapi para mahout dan juga komunitas pemerhati Gajah Sumatera tak tinggal diam. Mereka berjuang sekuat tenaga menolong gajah yatim piatu itu untuk bisa berjalan kembali. Mereka tidak mau menyerah begitu saja, apalagi ketika sebuah opsi suntik mati pernah diwacanakan untuk Agam. 

Seperti Harry Potter yang berhasil bertahan hidup karena cinta kasih seorang ibu, para pemerhati Gajah Sumatera yang kini berjuang menolong Agam juga berharap, ada keajaiban yang muncul melalui cinta kasih para pemerhati binatang di seluruh penjuru dunia buat Agam. Sebuah tagar #Agamwillheal dipakai untuk kampanye guna mendukung Mahout dan dokter menyembuhkan Agam.


Gajah yatim piatu lainnya

Kisah Agam bukanlah cerita sedih pertama soal anak-anak Gajah Sumatera di Aceh. Bertahun-tahun sudah terjadi pembantaian terhadap gajah-gajah Sumatera di Aceh. Populasi mereka makin menciut yang berbanding terbalik dengan jumlah luasan kebun-kebun sawit dan juga kebun lainnya yang dibuka masyarakat secara masif di Aceh. Alih fungsi hutan membuat kawanan binatang berbadan besar ini tidak hanya kehilangan tempat tinggal, tidak hanya disebut sebagai hama dan perusak serta penghancur kebun masyarakat, tapi mereka juga kehilangan anak, ibu, bapak, pasangan, kawanan. Mereka diburu, dibunuh, dikejar-kejar, dan diusir dari  hutan-hutan  yang telah mereka diami dan lintasi dari generasi ke generasi. Mereka terusir dan terasing di tanahnya sendiri.

Tahun lalu ada bayi gajah bernama Raju, ia juga yatim piatu yang juga bernasib sama dengan Agam. Ditemukan sendirian dengan tali pusar yang masih belum putus di tepi hutan di Aceh Utara. Raju dipindahkan ke PLG Saree dalam kondisi lemah. Sayangnya Raju mati akibat diare hebat dan divonis malnutrisi.

Selain Raju, piatu gajah lainnya bernama Raja juga bernasib tragis, tewas setelah 3 bulan dipelihara warga kampung di Payabakong, Aceh Utara . Pada 30 April 2013, Raja ditemukan warga berputar-putar di sekitar kebun di Desa Blang Pante. Tak tampak ada induk atau kawanan seperti anak-anak gajah yang selalu dalam lindungan kelompoknya. Anak gajah itu diberi nama Raja. Ia berumur sekitar dua tahun ketika ditemukan. Seperti Raju, Raja kehilangan ibu dan kawanannya.  Dua kasus ini tak menunjukkan  tanda-tanda ada gajah yang datang mendekat ke kampung untuk menjemput anak-anak gajah yang terpisah ini. Biasa, jika ada anak gajah hilang, kawanan gajah akan datang ke kampung mencari. Kini, dua anak gajah tak beribu itu telah mati.

Rosa  adalah gajah yatim lainnya. Ayahnya seekor gajah liar dipanggil Papa Genk mati dibunuh orang kampung karena dituduh merusak kebun. Rosa beribu Suci, gajah jinak yang tinggal di Conservation Response Unit (CRU) Sampoinet, Aceh Jaya. Suci kawin dengan Papa Genk yang rajin bertangdang ke kamp CRU. Ketika Rosa berumur beberapa bulan, ayahnya ditemukan tewas dengan luka menganga di bagian gading. Gadingnya hilang. Begitulah, selain alih fungsi hutan, perdagangan gading merupakan penyebab jumlah binatang berbelalai ini kian menyusut.

Sejak 2002, konflik gajah manusia terus meningkat di Aceh. Konflik ini menimbulkan kerugian baik korban jiwa manusia, kerugian materi dan kematian gajah yang tinggi. Seperti Selama 2012, dilaporkan lebih dari 30 ekor  gajah mati dan sebagian besar diracun di perkebunan sawit.


Comments

  1. Agam akhirnya tutup usia..selamat jalan Agam.Semoga kematianmu tidak sia-sia sehingga manusia akan lebih peduli lagi dengan nasib Gajah Sumatera...selamat jalan Agam

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts