Apa Kabarmu, Bang Ersa?

tanah sudah tak merah lagi/ rumput liar mulai meranggas, mengganggu nisan/ bunga-bunga yang ditabur sudah resap jadi hara/ dari sini, kukirim doa untukmu amang… (5 Desember 2008 - raihan lubis)

Apa kabar Bang Ersa? Saban sudah lewat tanggal 4 Desember, ada satu ingatan yang suka berkelebat tentangmu. Ingatan tentang seorang sahabat, seorang kolega, juga seorang yang mewakili sosok seorang ayah. Tak banyak yang tahu, jika hari ulang tahunmu sama dengan hari ulang tahun Gerakan Aceh Merdeka (GAM) 4 Desember. Dan siapa pula yang tahu kalau kemudian dirimu disandera oleh GAM berbulan-bulan lamanya dan kemudian harus berpulang dengan cara yang mengenaskan dalam sebuah kontak tembak antara TNI dari Batalyon 6 Marinir dan kelompok GAM di Dusun Kuala Manihin, Kecamatan Simpang Ulim, Aceh Timur, 29 Desember 2003 silam.

Nama lengkapmu Sory Ersa Siregar. Orang-orang memanggilmu bang Ersa. Anak-anakmu memanggilmu amang (ayah dalam bahasa Batak). Dalam pertemuan-pertemuan kita ketika liputan di Aceh, aku kadang memanggilmu Abang, kadang Amang. Dalam beberapa kali liputan ulang tahun GAM, kita selalu bertemu. Liputan ulang tahun GAM terakhir yang kita liput bersama pada 3 Desember 2002. Saat itu, kondisi keamanan di Aceh benar-benar tidak kondusif.

Lewat beberapa penghubung, ulang tahun GAM pada tahun itu dimajukan satu hari. GAM menggelar upacara milad -demikian mereka menyebutnya- pada tanggal 3 Desember 2002, guna menghindari pertempuran yang tak diinginkan. TNI semakin beringas pascapengepungan markas GAM di Desa Cot Trieng, Kecamatan Muara Dua, Aceh Utara. Pemerintah juga mengeluarkan ultimatum agar GAM tak menggelar miladnya. Takut akan serangan udara dan juga sweeping yang dilakukan TNI/Polri, GAM mengatur siasat. Hari upacara milad dimajukan satu hari. Tak ada yang salah memang dengan siasat ini. Sayangnya, para jurnalis yang datang meliput diminta untuk membuat berita jika upacara itu digelar pada 4 Desember. Usai liputan, sempat terjadi ketegangan antara para jurnalis dengan para anggota GAM.

“Kami tidak bisa mengatakan upacara ini digelar 4 Desember, Teungku. Karena memang upacara ini digelar tanggal 3 Desember. Teungku juga harus memahami profesi kami sebagai jurnalis." Itu ucapanmu yang kuingat, Bang.

Sayangnya, beberapa jurnalis tak sependapat denganmu. Rombongan jurnalis yang datang dengan beberapa kendaraan roda empat sehari sebelumnya itu mulai terpecah. Sebagian sependapat denganmu, yang lainnya mengamini permintaan GAM.

Perlahan, matahari mulai tergelincir ke barat. Suasana desa makin senyap kala itu. Anak-anak yang semula ramai sudah tak terlihat lagi, yang tinggal hanya rombongan jurnalis dan beberapa tentara GAM –yang tentu saja memanggul senjata laras panjang AK47, SS1 dan juga rakitan. Geliat mereka mulai menebar aroma tak bersahabat

“Bang, kita harus segera keluar dari tempat ini,” bisik seorang jurnalis padamu. Suasana menegang.

“Tapi kita harus sepakat dulu soal ini,” katamu lagi. Matamu menatap wajah kami satu persatu. Kemudian, dirimu mengambil langkah mundur ke belakang. Lalu, negosiasi diambil alih beberapa jurnalis asal Aceh - mereka bicara dalam bahasa Aceh. Suasana hening menyelimuti sebagian jurnalis yang menanti kesepakatan. Setelah beberapa saat, sebagian dari yang bernegosiasi kemudian mundur.

“Mereka setuju jika kita menyebut upacara tangal 3 Desember. Tapi buat tivi, radio, kantor berita dan juga media online harus disiarkan di atas jam 9 malam nanti. Upacara ini dimajukan karena untuk memperingati wafatnya salah satu pejuang Aceh, begitu kata mereka,” terang seorang jurnalis usai bersepakat dengan Sofyan Daud -yang ketika itu menjadi juru bicara GAM.

Semua jurnalis saling berpandangan. Dirimu mengangguk, jurnalis lainnya mengamini. Sofyan Daud kemudian mendatangi kerumunan jurnalis, senyumnya sudah mengembang. Kesepakatan dicapai dan kita pulang. Dan siapa sangka, jika itu merupakan kali terakhir dirimu meliput ulang tahun GAM, Bang?

Satu Juli 2003, dirimu bersama juru kamera Ferry Santoro dilaporkan hilang kontak dalam perjalanan dari Aceh Timur menuju Aceh Utara. Dan tak berapa lama setelah itu, Pimpinan GAM wilayah Aceh Timur, Ishak Daud mengakui menyandera dirimu dengan alasan- karena membawa serta dua perempuan sipil yang kebetulan adalah isteri tentara. Para perempuan ini kabarnya ikut denganmu, karena akan memberikan bantuan pada para pengungsi yang kalian liput, Bang.

Beberapa kali dalam percakapanku di telepon bersama Ishak Daud, selalu kumohonkan padanya agar segera melepasmu, Bang. Tak ada gunanya menyandera jurnalis, begitu kataku pada almarhum Ishak Daud. Karena tindakan itu hanya akan membuat citra yang buruk bagi GAM. Tapi memang semua sudah diatur olehNya. Bahwa dirimu harus berpulang ke sang Khalik dengan cara yang sedemikian rupa. Tapi, kematianmu tentu saja tak sia-sia Bang. Karena meski jalan panjang harus diretas, konflik vertikal yang telah banyak makan korban itu usai sudah.

Meski dirimu tak bisa ikut merasakan perdamaian di Aceh, tapi aku yakin bahwa di suatu tempat di sana, kau melihat semuanya. Menyaksikannya dengan penuh rasa bahagia. Ah, semoga kabarmu baik-baik saja di sana ya, Amang. Masih terngiang ucapan pertamamu kalau kita berjumpa. "Hei, boru Lubis, apa kabarmu?


Comments

Popular Posts