Jelang 10 Tahun Tsunami Aceh (3)

Kawasan Lampaseh, Banda Aceh, Februari 2005- Raihan Lubis
Tsunami telah menghilangkan hampir 230 ribu jiwa dan jutaan orang kehilangan tempat tinggal di Aceh. Tapi siapa sangka, patahan megasesar Sunda yang tiba-tiba terbangun setelah seribu tahunan tertidur, dan mengakibatkan kehancuran yang maha hebat di ujung Pulau Sumatera itu, telah melahirkan perjanjian damai bagi Aceh - ketika Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia bertemu di satu titik di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005.



Begitulah, cerita perdamaian Aceh memang tak bisa dilepaskan sebagai salah satu dampak dari tsunami. Dimana rehabilitasi serta rekonstruksi Aceh pascatsunami, tak hanya melulu membahas persoalan fisik dan perekonomian, tapi juga lebih dari itu. Kehidupan yang telah lama luluh lantak tak bertepi akibat konflik berkepanjangan juga ikut direhabilitasi.

Langkah-langkah nyata terus dilakukan usai penandatanganan perjanjian damai, seperti ketika GAM menyerahkan 840 pucuk senjata untuk dimusnahkan. Langkah ini dilakukan sebagai kaompensasi pemberian amnesti serta penarikan pasukan TNI dan Polri dari Aceh. Selain pelucutan senjata, demobilisasi pasukan GAM juga dilakukan.  GAM melebur dan menjadi Komite Peralihan Aceh (KPA). Perwakilan-perwakilan GAM kemudian tak hanya diberi ruang berkarya yang cukup luas di Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias - sebuah lembaga yang dibentuk pemerintah untuk menangani proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh- tapi lebih jauh lagi, perwakilan GAM terlibat aktif dalam pelaksanaan Pilkada di Aceh dan akhirnya, berhasil menduduki posisi gubernur Aceh. Pasangan Irwandi Jusuf dan Mohammad Nazar dilantik menjadi Gubernur Aceh pada Februari 2007 setelah mengantongi 39 persen suara. Pilkada ini menjadi tonggak sejarah penting bagi Aceh dan juga Indonesia.

Begitulah. Sebagaimana pernah diulas Wall Street Journal dalam artikel yang ditulis Sanda Hamid dan Douglas Ramage pada Juli 2006 silam, tsunami Aceh tidak hanya mengubah secara mendalam lingkungan fisik dan lingkungan manusia, tapi juga lingkungan politik.

Sayangnya seiring waktu, reintegrasi eks-kombatan yang telah mewujud dalam beragam bentuk, pelan dan pasti telah menimbulkan berbagai friksi di tubuh KPA dan lebih jauh lagi, di tubuh pemerintahan Aceh - baik di provinsi maupun di kabupaten-kabupaten. Tragisnya, akibat friksi-friksi yang lebih banyak disebabkan oleh kekuasaan ini, ikatan-ikatan diantara mereka telah kendur bahkan lepas.

Menurut Peter Feith, ketua Aceh Monitoring Mission (AMM)  -sebuah misi perdana Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Eropa dan Defence Policy di Asia- pemulihan dari konflik jangka panjang maupun dampak tsunami, akan membutuhkan bertahun-tahun upaya tanpa henti. Sayangnya, upaya itu telah tercemari oleh sejumlah ketegangan dan persaingan. Ironinya, proyek-proyek pembangunan pascatsunami, merupakan salah satu pemantik ketegangan.

Feith pernah mengingatkan Aceh, bahwa dalam situasi pascakonflik, selalu ada potensi pecahnya gerakan menjadi faksi-faksi yang dapat merongrong garis otoritas sentral di Aceh, dan menimbulkan ketegangan regional. Harapannya ini tak bolehmewujud. Tapi kalaupun terjadi, tentunya semangat untuk tetap bersatu harus menjadi kelompok yang lebih dominan dan bukan sebaliknya.

Sudah cukup rasanya para syuhada mati di tanah rencong ini. Sepuluh tahun tsunami baiknya dijadikan titik balik - renungan bagi kita untuk kembali merajut ikatan-ikatan yang mulai kendur dan terpisah. Mari kita pelihara perdamaian Aceh. Cukup sudah darah dan air mata yang tumpah. Gelombang raya sudah membersihkan darah dan air mata dari bumi tercinta, kenapa kita hendak menumpahkannya lagi? Tak cukupkah satu tsunami saja, melenyapkan itu semua?

Comments

Popular Posts