Jelang Sepuluh Tahun Tsunami Aceh (2)

Sahabatku/ Sudah sepuluh tahun sejak gelombang raya menerjang rumahmu Minggu pagi itu/ Dan sejak itu, tak pernah lagi kudengar suaramu / Desember 2014 - buat Taufan Nugraha *) - raihan lubis

Acara doa bersama untuk rekan-rekan jurnalis
dan karyawan Serambi Indonesia. Foto : Raihan Lubis
Dari banyaknya korban dalam kejadian gempa bumi maha kuat dan terjangan tsunami 26 Desember 2004 silam di Aceh, jurnalis dan keluarganya banyak yang menjadi korban. Ada yang hilang bersama seluruh anggota keluarganya, ada juga yang kehilangan anak,isteri, suami atau keluarga besarnya. Di antara kesedihan dan rasa kehilangan yang mendalam, mereka tetap berusaha melaporkan berita-berita pascatsunami.

Lima hari pascatsunami, koran lokal Serambi Indonesia akhirnya terbit juga -meski mereka bekerja dari sebuah ruko. Karena gedung percetakan dan kantor Serambi Indonesia nyaris tak berbentuk setelah air laut menyapu kawasan tersebut. Koran terbesar di Aceh ini tak hanya mengalami kerusakan kantor tapi juga kehilangan 11 orang jurnalisnya dan 52 karyawan.



Lain lagi cerita dari sebagian jurnalis Radio Prima FM Banda Aceh. Salah satu radio berita di Aceh ini juga harus kehilangan kantornya yang hancur berkeping-keping dan nyaris tak berbekas. Mereka kemudian pindah ke sebuah rumah di kawasan yang tak terjamah tsunami agar tetap dapat mengudara, tetapi karena keterbatasan ruang dan banyaknya jurnalis yang kehilangan tempat tinggal, sebagian jurnalisnya terpaksa tidur di tenda-tenda yang dipasang di bagian halaman kantor radio tersebut.  Dalam buku Bencana Jurnalisme Jurnalisme Bencana yang ditulis Ahmad Arif (2010) disebutkan, Banda Aceh kehilangan 16 stasiun radio dan 4 stasiun radio juga hancur di Meulaboh. Bencana ini disebutkan Arif menjadi petaka terbesar bagi media di Indonesia.

Saat itu, beberapa jurnalis yang terluka parah sebagian besar dibawa ke Medan. Yang selamat tetapi kehilangan keluarga masih terus berusaha mencari anak, isteri atau suami atau keluarga lainnya yang hilang. Di sela-sela pencarian itu, tak jarang mereka juga tetap harus membuat berita.

Saya sendiri, sempat beberapa hari mengungsi dan tidak terhubung dengan rekan-rekan jurnalis lainnya yang selamat, dan karenanya sempat dikabarkan hilang oleh -detikcom- media tempat saya bekerja. Tiga hari pascakejadian, saya baru dapat menghubungi kantor saya di Jakarta dan juga orang tua saya di Medan, setelah mendapat pinjaman telepon flexi dari seorang bapak yang kebetulan singgah bersama keluarganya di kawasan tempat kami mengungsi.

Siska Widyawati, Salah seorang jurnalis dari Jakarta yang ikut rombongan wapres Jusuf Kalla saat itu menitipkan jilbab untuk saya. Sampai sekarang jilbab itu masih saya simpan. Ketika mengungsi, saya hanya membawa baju di badan. Beberapa teman-teman-teman di Indocs Jakarta juga menitipkan banyak keperluan buat kami sekeluarga, seperti sleeping bag, tenda dan juga beberapa potong baju. Teman-teman sekantor juga memberikan bantuan yang tak akan pernah saya lupakan. Juga teman-teman jurnalis lainnya seperti Becky, Rachel dan Utet. Dan banyak sahabat-sahabat lainnya yang tak bisa disebut satu per satu. Terimakasih banyak.

Bagi saya pribadi, bulan-bulan pertama meliput peristiwa pascatsunami adalah sebuah pergolakan batin yang cukup melelahkan. Emosi bercampur aduk kalau lagi menulis berita. Belum lagi gempa masih sering datang mengguncang. Ditambah saat itu saya baru mengetahui tengah hamil satu bulan. Dan karena rumah yang biasa  kami tempati belum bisa ditempati karena kondisi yang masih parah, kami hidup nomaden - menumpang dari satu keluarga ke keluarga lain. Tak jarang juga tidur di jeep tua kami. Plus lagi, inflasi gila-gilaan. Harga-harga melambung tinggi. Jadi, lengkaplah sudah.

Tapi tentu semua itu tak mengalahkan semangat untuk tetap meliput. Selalu ingin memberitakan apa yang tengah terjadi meski seburuk apapun kondisi yang sedang dialami. Dan bukan saya saja yang begitu, nyaris semua jurnalis yang ketika itu menjadi korban dalam peristiwa tersebut - langsung maupun tidak langsung- tak surut semangatnya dalam membuat berita. Meski ada juga yang akhirnya memutuskan menarik batas yang jelas untuk tidak meliput kejadian-kejadian pascatsunami - karena rasa kehilangan yang sangat mendalam dan rasa trauma yang tak terperi. Tak ada yang salah dengan semua ini. Sebagai manusia, para jurnalis juga memiliki kekuatan yang berbeda-beda untuk menghadapi situasi pascatsunami di Aceh. Meski kadang-kadang orang-orang punya ekspektasi yang tinggi pada jurnalis  -yang selalu dinilai sebagai orang yang pasti mampu menghadapi semua kejadian dan tragedi. Mengutip Al Tomkins dari Poynter Institute for Media Studies di buku Arif, sebagaimana polisi dan pemadam kebakaran rentan stres setelah menangani tragedi, jurnalis juga memiliki kerentanan yang sama. Jurnalis biasanya kurang mendapat dukungan setelah merampungkan artikel mereka. Ketika yang lain memperoleh penyuluhan setelah trauma, jurnalis sering kali mendapat penugasan yang lain.

Kedepan, Aceh dan juga sebagian  wilayah di Sumatera belum luput dari bencana alam serupa. Karena berdasarkan penelitian, gempa yang menyulut tsunami tahun 2004 dan kemudian disusul gempa besar tahun 2005 belum mencapai puncaknya. Semoga berbagai berita dan laporan para jurnalis pascatsunami Aceh - baik jurnalis yang mengalami tsunami maupun tidak, baik berita-berita yang tercetak, diterbitkan secara online atau juga dipublikasi melalui media elektronik - dapat menjadi referensi bagi anak cucu ke depan. Sehingga generasi mendatang lebih siap menghadapi bencana besar di masa depan- meski entah kapan.

 *)Taufan Nugaraha, jurnalis radio KBR68H yang menjadi salah satu korban dalam bencana besar Minggu pagi, 24 Des 2004


Comments

Popular Posts