Serial Hia dan Zee : Pelajaran Paling Penting di Dunia



Namanya Zayyan Arkan Montgomery. Panggilannya Zee. Tapi karena dia paling bungsu di rumah, kami lebih sering memanggilnya Adek. Usianya tujuh tahun.

 Sekarang Adek tengah duduk di kelas 1 Sekolah Dasar. Adek bersekolah di sekolah umum. Satu setengah tahun lalu, ketika kami masih hidup berpindah-pindah dan agak nomaden, Adek menjalani home schooling murni bersama papanya di rumah. Tak heran, kalau dia suka mentasbihkan dirinya sudah kelas dua SD saat ini.

Meski pernah menjalani home schooling murni, Adek sepertinya tak terlalu sulit beradaptasi dengan dunia sekolah umum. Meski kadang dia mengaku lelah. Maklumlah, sekolahnya agak jauh dari rumah. Jam enam pagi, dia sudah harus berangkat bersama abangnya. Sekitar pukul setengah tiga siang, Adek baru kembali ke rumah. Adek melewatkan makan siangnya di sekolah.

Di hari-hari tertentu, dia hanya bisa tidur siang sebentar setelah pulang sekolah, karena harus segera pergi les.

 “Adek ini kayak orang kerja aja ya, Ma. Pergi pagi, pulang sore. Adek capek, Ma.” Katanya suatu hari.

Sejak dalam kandungan sampai brojolnya, anak keduaku ini rada fenomenal.

Dengan Land Lover tua kami, papanya membawaku ke klinik bersalin di suatu malam buta. Land Lover panjang itu hanya beratap di bagian depan. Bagian bak belakang setengah bertutup kanvas dan setengahnya lagi terbuka. Aku suka menyebut mobil itu bergaya ‘moon roof’. Perjalanan ke klinik bersalin malam itu sungguh sangatlah lamanya.

Dan entah karena kami ke klinik dengan mobil ‘open cab’ seperti itu, entah karena memang genetis atau karena daya tahan tubuhnya, sampai sekarang Adek suka mual kalau naik mobil bagus, tertutup dan ber-AC. Tapi kalau Adek naik mobil open cab atau apalah namanya yang ada bak belakang atau kabinnya terbuka-terbuka gitu, sejauh apapun perjalanan – dia mah santai saja.

 Ketika makan malam beberapa hari lalu, dia bertanya begini padaku: “Mama, pelajaran apa yang paling penting di dunia ini?”

 “Pelajaran budi pekerti,” jawabku.

 “Pelajaran apa itu,” tanyanya lagi.

 “Pelajaran tentang ahlak, tingkah laku, sikap seseorang,” jawabku.

 “Itu lo Dek, pelajaran karakter. Kejujuran, tahu terimakasih, ketaatan. Pelajaran-pelajaran karakter Dek” jawab Hia memberi contoh. Ketika TK, sekolahnya memberikan pelajaran karakter.  Hia adalah abangnya- yang umurnya bertaut dua tahun darinya.

 “Oh itu, pelajaran-pelajaran kayak di PPKN itu ya, Ma,” ujarnya menyebut salah satu mata pelajaran di sekolahnya- yang mempelajari tentang sikap dan tingkah laku yang baik.

Aku mengangguk.

“Kenapa paling penting? Bukannya matematika atau Bahasa Inggris yang penting?”

 “Adek tahu nggak koruptor-koruptor yang di tivi-tivi itu. Mereka itu kan nggak ada budi pekertinya. Dan sebenarnya mereka orang yang pintar-pintar kan ma,” sela abangnya lagi setengah bertanya padaku- untuk meyakinkan dirinya –dan tentu saja adiknya.

 "Ho oh," jawabku sembari mengangguk. Kubiarkan mereka berdua berbicara dengan cara mereka.

“Oh gitu. Jadi mereka orang-orang yang pintar tapi nggak punya budi pekerti.”

 “Iya, Dek,” kata Hia lagi.

“Oh, jadi nggak cukup pintar aja ya, Ma?” tanya Adek lagi- yang bagiku lebih mirip pernyataan sebenarnya. ***

Comments

Popular Posts