Kopi Mandailing dan Infrastruktur Kita

Karena menyoal kopi Mandailing -secara saya orang Mandailing- jadi tergerak saya menulisnya. Lantas, apa hubungan kopi Mandailing -yang selalu diucap dan ditulis dengan kata dan ucapan kopi Mandheling- dengan infrastruktur kita? 

Kemarin malam, saya menghadiri acara International Coffee Day yang digelar oleh salah satu lembaga internasional di Jakarta. Mereka menghadirkan seorang pebisnis kopi dari Semarang, sebagai pembicara. Bapak pebisnis kopi ini bercerita, ongkos kirim kopi Mandailing dari Singapura ke Semarang (iya, Singapura negara tetangga kita itu ya, bukan toko bernama Singapura) lebih murah dibanding ongkos kirim dari Medan, Sumatera Utara ke Semarang. Jika membeli kopi Mandailing dari Medan, Sumatera Utara -dengan kurs dolar saat ini- pengiriman kopi satu kontainer berkisar 12 juta rupiah. Sementara, jika kopi Mandailing dibeli dari Singapura -dengan jumlah barang yang sama- ongkos kirim sekitar 5 juta rupiah sahaja.Padahal, jelas-jelas Kota Medan -merupakan kota pengiriman terdekat dari Mandailing dan kabupaten sekitarnya, yang berjarak 12 jam perjalanan darat ke Medan. Ditambah lagi, jarak Medan dan Singapura itu tidaklah terlalu jauh. Kalaupun ada selisih harga, tentunya tak terlalu signifikan. Dan harusnya, yang lebih mahal itu ya dari Singapura -bukan dari Medan.


Perbedaan ongkos kirim yang cukup signifikan ini, apalagi kalau bukan karena persoalan insfrastruktur jalur transportasi kita yang masih belum memadai, baik di darat, laut maupun udara. Selain juga regulasi yang acak kadut bin amburadul. Dan percaya atau tidak, ini bukan hanya terjadi pada pengiriman komoditas kopi Mandailing saja. 

Saya jadi ingat, ketika masih bekerja di Aceh yang ketika itu mengurusi kopi dan coklat, petani kopi dan coklat di Aceh mengalami kendala untuk pengiriman ke luar Aceh. Mereka terpaksa mengirim kopi dan coklat lewat jalur darat dari Medan, Sumatera Utara - karena tak ada pelabuhan yang bisa mengirim barang ke luar dari Aceh. Pelabuhan Sabang dan Krueng Geukuh di Aceh Utara, tak bisa diharap karena terkendala regulasi. Akibat ini pula, jumlah ekspor kopi dan coklat dari Aceh tak bisa dihitung- karena Sumatera Utara acapkali mengklaim kopi dan coklat dari Aceh ini merupakan produk dari Sumatera Utara. Petani kopi dan coklat di Aceh cuma bisa gigit jari.

Ingat juga saya sama omongan  presiden Joko Widodo, ketika meresmikan pengoperasian mesin bor bawah tanah proyek MRT Jakarta -beberapa pekan lalu. Menurut presiden, terbengkalainya proyek-proyek infrastruktur -khususnya transportasi- di Indonesia, karena para pengambil kebijakan terus saja menyoal untung rugi- bukan membahas benefit yang bisa didapat negara dan masyarakat. Catat ya sodara-sodara, benefit buat masyarakat! Plus tak ada pula komitmen politik di antara mereka. Yang ada hanya komitmen soal untung rugi.

Jadi, jangan salahkan orang-orang kalau terus membeli motor dan mobil -yang tambah buat macet jalanan- dibanding naik transportasi umum. Jangan heran juga, meski krisis, orang-orang tetap rajin datang ke pameran-pameran motor dan mobil. No wonder pula, kalau empat tahun lalu ketika melakukan perjalanan dinas ke beberapa kabupaten di Aceh, saya sudah membeli bensin seharga sepuluh ribu sampai dua belas ribu perliternya. Dan jangan marah juga, kalau banyak pebisnis yang lebih suka membeli barang dari luar Indonesia, karena ongkos kirimnya jauh lebih murah -selain kualitas lebih terjamin. 

Jadi, begitulah ceritanya.

Comments

Popular Posts