Ulee Lheue, Kawasan Sibuk di Masa Lalu


Besok kapal uap 'Coen' milik KPM', komandan Wilkens, seorang teman saya, datang dari Padang dalam pelayaran ke Singapura. Kalau ia kembali, dia akan menjemput saya untuk ke Uleh-leh."
"Anda mau 'nyebrang ke Sumatra?" tanyanya cepat.
"Ya."
"Dan maunya justeru ke Uleh-leh, ke Atjeh jadinya.”

Begitulah penggalan kalimat dalam novel Karl May (1842-1912), berjudul Und auf Erden Friede. Novel itu ditulis tahun 1904.  Dan baru pada tahun 2002 novel tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Dan Damai di Bumi oleh Gramedia.
Pelabuhan Ulee Lheue, 1880 - 1881. Foto: Koleksi Tropen Museum, Belanda

Pada awal tahun 1900-an , Pelabuhan Ulee Lheue –yang oleh Belanda ditulis Oleh-leh- menjadi salah satu kawasan strategis. Dijadikan lokasi pendaratan pasukan. Pelabuhan ini sekaligus juga tempat berlabuhnya kapal-kapal dari berbagai negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura selain juga kapal-kapal Belanda. Di sekitar pelabuhan, Belanda membangun kamp militer,  pertokoan para pedagang Cina juga ada sekitar Ulee Lheue. Tak heran jika pelabuhan Ulee Lheue dan sekitarnya menjadi salah satu kawasan yang cukup sibuk kala itu.

Pada halaman lainnya, Karl May melukiskan Ulee Lheue seperti ini ;

Uleh-leh tidak besar, hampir semua bangunannya terbuat dari kayu. Rumah-rumah penduduk dibangun sedemikian rupa sehingga udara segar dapat berlalu lalang bebas namun memberi perlindungan yang cukup terhadap terpaan hujan tropis yang sangat deras. Sebuah dermaga lebar- terbuat dari papan-papan tebal dan kuat-menjorok jauh ke laut. Kapal-kapal besar tidak bisa merapat. Saat kapal-kapal penumpang tiba, di atas dermaga itu terjadi berbagai kesibukan dan hiruk pikuk luar biasa; pada kesempatan seperti itu bermacam-macam tipe manusia Sumatra dapat diamati. Tidak ada yang mengetahui bahwa kapal kami akan singgah; oleh sebab itu setiba kami tidak seperti biasanya hanya ada sedikit orang di dermaga. 
Sebelum turun dari kapal sudah diputuskan bahwa kami sama sekali tidak akan berlama-lama di pelabuhan; kami akan naik kereta api menuju Kota Radscha (Kutaraja; red). Sama seperti sebelum kami Waller, sedapat mungkin kami akan mencari tempat bermalam di Kratong (kawasan Kraton; red). Semua urusan yang harus diselesaikan dengan administrasi pelabuhan dipercayakan kepada Tom. Dengan sekoci kami berlayar ke dermaga. Setelah merapat pada dermaga kami disambut seorang petugas pelabuhan; pertanyaannya yang pertama ialah apakah kami membawa senjata. Semua senjata harus diserahkan; nanti pada saat akan kembali ke kapal, akan dikembalikan. Ketika itu kami hanya membawa pistol; senapan akan menyusul, akan dibawakan sebentar lagi. 
Pelabuhan Ulee Lheue sekitar tahun 1890. Foto : Koleksi Tropen Museum, Belanda.

Ada yang menyebutkan bahwa gambaran ini hanya didapat Karl lewat berbagai buku yang dibacanya, seperti saat dia menulis cerita-cerita yang lainnya. Tapi lebih banyak yang mengatakan bahwa Karl May benar-benar melakukan perjalanan ke kawasan timur.

Tapi terlepas dari itu semua, gambaran Karl May tentang pelabuhan sibuk Ulee Lheue benarlah adanya. Dari berbagai koleksi foto Tropen Museum, Belanda, tentang Aceh, gambaran-gambaran yang disebutkan Karl nyaris tak berbeda. Tengok saja foto-foto di bawah ini.

Sebuah perahu yang menurunkan penumpang merapat ke dermaga di Ulee Lheue sekitar tahun 1910. Foto : Koleksi Tropen Museum, Belanda
Pelabuhan Ulee Lheue sekitar tahun 1890. Foto : Koleksi Tropen Museum, Belanda
Salah satu gudang logistik Belanda di Ulee Lheue sekitar tahun 1875 -1885. Foto : Koleksi Tropen Museum, Belanda

Mulai dari dermaga kayunya, kesibukan di dermaga juga kapal-kapal yang melintasinya plus perumahan yang berada di kawasan pantai tersebut. Gambaran itu bukan hanya rekaan semata. Sayangnya,  saat ini kita tak lagi bisa menikmati gambaran-gambaran tentang pelabuhan sibuk yang didatangi berbagai bangsa itu.

Pelabuhan Ulee Lheue kini hanya digunakan sebagai pelabuhan penyeberangan kapal ferry dan kapal cepat dari Banda Aceh ke Pelabuhan Balohan, Sabang dan juga kadang-kadang ke Pulau Beras.  Awalnya Pelabuhan Ulee Lheue ini beroperasi melayani beberapa rute, seperti penyeberangan ke Pulau Sabang, Pulau Beras dan sekitarnya, Kota Lhokseumawe, Kuala Langsa, bahkan sampai ke Pelabuhan Belawan - Medan. Namun setelah bencana tsunami tahun 2004, pelabuhan ini hanya berperan sebagai penghubung utama antara Banda Aceh ke Pulau Sabang dengan 3 - 4 trip penyeberangan setiap harinya. Tak ada kesibukan lain selain para penumpang yang datang dan pergi menuju Sabang. Di antara penumpang terkadang terlihat turis asing yang hendak berwisata Pulau Sabang.

Sebenarnya, jika tak diterjang tsunami,  ada beberapa bangunan seperti gudang-gudang dan bangunan lama yang menjadi tanda bahwa kawasan itu dulunya merupakan kawasan yang sibuk dan cukup punya andil pada zaman perang Aceh melawan Belanda. Sayang, bukti-bukti dari bagian sejarah Aceh itu kini lenyap sudah.
Pasar di Ulee Lheue yang didominasi pedagang Cina, sekitar tahun 1880 - 1881. Foto : Koleksi Tropen Museum, Belanda.
Salah satu rumah orang Belanda C.H.Japing di Ulee Lheue, 1922
Kamp militer Belanda di Ulee Lheue, 1880. Foto: Koleksi Tropen Museum, Belanda.
Jajaran pertokoan pedagang Cina di Ulee Lheue, 1890. Koleksi Tropen Museum, Belanda
Paviliun yang dibangun Belanda di kawasan Ulee Lheue, 1880. Foto : Koleksi Tropen Museum, Belanda

Meski begitu, menyusuri jalan-jalan menuju kawasan pelabuhan Ulee Lheue tetaplah mengasyikkan. Mejadi salah satu alternatif tempat wisata kota yang dapat dikunjungi. Utamanya sangat direkomendasikan bagi para pelancong yang hanya mengunjungi Banda Aceh dan tak punya waktu banyak. Pasalnya, lokasi pantainya dapat dituju dengan waktu sekitar 10 menit dari kota. Jadi, tak usah terlalu jauh ke pantai yang berada di Aceh Besar.

Tak perlu repot membawa bekal makanan untuk mengunjungi pantai ini. Jika hari menjelang petang, para penjual makanan utamanya jagung bakar akan menggelar dagangannya di sepanjang jalan. Makanan khas seperti ketan bakar yang dinikmati dengan kuah durian juga dapat ditemukan di depan Masjid Baiturrahim, Ulee Lheue. 

Sunset di Ulee Lheue, Juli 2012. Foto: Raihan Lubis

Sembari mengudap ketan atau jagung bakar mata akan dimanjakan dengan pemandangan sunset yang sungguh menawan, juga jejeran para pemancing ikan. Tawa riang anak-anak yang tengah berenang bersama para keluarganya menjadi irama tersendiri yang membuat hati nyaman. Jika ingin berenang juga tak dilarang, tetapi tetaplah berpakaian yang sopan. Maklumlah, Aceh melaksanakan peraturan Syariat Islam. Karenanya, jika ada niat untuk merasakan air laut di pantai Ulee Lheu, kenakan pakaian yang tidak terlalu tebal tapi juga tidak terlalu tipis untuk berenang. 

Hanya saja, sudah beberapa bulan ini kawasan Ulee Lheue ditutup mulai pukul 6 sore.  Alasannya, karena banyak perbuatan mesum berlaku di sana. Andai saja pemerintah sedikit bijak, rasanya tak perlu repot menutup kawasan yang terletak di Kecamatan Meuraxa ini. Karena para pedagang jadi berkurang rezekinya dan mengurangi lokasi tujuan keluarga di malam hari. Harusnya, cukuplah ditambahkan lampu jalan yang terang dan banyak agar suasana tak jadi remang-remang. Plus ditambah dengan pos polisi syariat agar dapat berjaga-jaga , seperti petugas bay watch – pastinya lebih elok lagi karena tak ada yang dirugikan. Apalagi, Aceh tengah menyiapkan diri untuk Visit Aceh 2013.

Karena hanya segelintir pengunjung saja yang bertingkah mesum. Selebihnya, banyak keluarga yang datang untuk menikmati suara deburan ombak dan angin malam sembari makan jagung bakar dan jajanan lainnya. Kini, jika malam menjelang, salah satu bandar tersibuk di Aceh pada zaman perang Aceh melawan Belanda itu senyap sudah.  Hanya deburan ombak dan angin malam saja yang meramaikannya. (nur raihan lubis)  




Comments

Popular Posts