Jelang Sepuluh Tahun Tsunami Aceh (1)
air sudah surut/ bumi tempat berpijak sudah kembali diam/ tapi dirimu, tak jua muncul di ujung jalan/ dan aku masih di sini, menunggu dalam diam// Desember, 2014 - raihan lubis
Lebih kurang, ini adalah hari Minggu ke-518 sejak kejadian maha dahsyat -gempa bumi dengan kekuatan berkisar 9,1 - 9,3 Skala Richter mengguncang Aceh. Gempa bumi megathrust bawah laut yang telah memicu tsunami. Suatu peristiwa yang tak pernah terbayangkan oleh saya dan juga mungkin oleh setiap orang di Aceh maupun di Indonesia. Suatu peristiwa, di mana saya merasa sudah mengalami kematian dan kemudian dihidupkan kembali untuk melihat betapa kita sebagai manusia- tak akan pernah dapat melawan alam dan kekuasan-Nya.
Beberapa bulan setelah tsunami. Foto: Raihan Lubis |
Saya masih bisa mengingat dengan baik, tiap sudut-sudut jalan yang saya dan suami saya lalui, ketika harus lari dari kejaran air di sekitar Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, di Minggu pagi 26 Desember 2004 silam. Gumpalan air hitam di belakang kami yang membawa begitu banyak benda yang timbul tenggelam, tumpukan motor, mobil dan orang-orang yang jatuh di jalanan karena saling bertabrakan. Sampai akhirnya kami harus berhenti di suatu titik- di mana rasanya tak ada celah untuk lari dari kepungan air laut yang telah tumpah ke daratan. Dan kami merasa, bahwa saat itulah ajal akan segera datang menghampiri.
Tapi takdir berkata lain. Air tak sempat menghanyutkan kami, ketika dengan kekuatan gravitasi bumi, berjuta-juta kubik air kemudian mundur teratur menuju tempatnya bermula. Air hangat yang terasa bau amis itu hanya menyentuh kami. Bau air gelombang raya itu, sampai sekarang masih tersimpan di dalam saraf-saraf di kepala saya. Dan tak jarang, suka datang dan menyengat hidung dalam mimpi-mimpi buruk saya.
Beberapa menit setelah kejadian itu, saya tak merasa tengah berada dalam kejadian yang maha dahsyat. Sampai kemudian, ketika kami berbelok menuju arah kembali pulang ke rumah. Di sanalah saya merasa, bahwa saya sudah mati dan dihidupkan kembali - berada di sebuah tempat yang saya pikir adalah padang mahsyar.
Bagaimana tidak, di sepanjang jalan, saya melihat orang-orang dalam segala bentuk, ada yang berpakaian lengkap, ada yang berpakaian seadanya, dan ada yang nyaris tidak berpakaian karena terhempas gelombang - terkapar tak berdaya di pinggir jalan. Ada yang masih segar bugar, ada yang jalannya terseret-seret karena sekujur tubuh penuh luka, ada yang berjalan bagai zombie dengan menggendong salah satu anggota keluarga yang sudah tak bernyawa. Kengerian yang tak bisa saya lukiskan dengan kata-kata apapun. Kengerian yang hanya bisa disimpan dalam batok kepala saja. Saya pikir saat itu, sudah tiba saatnya manusia dihisab dan dihidupkan kembali dalam keadaan sesuai amalannya.
Dan semakin kami berjalan mendekati rumah, semakin banyak kengerian yang bisa saya saksikan. Air yang masih mengalir perlahan, tidak hanya membawa benda-benda beragam rupa, tapi juga tubuh-tubuh tak bernyawa. Perlahan-lahan saya menyadari bahwa saya belum mati dan bukan pula tengah bermimpi.
Padahal tak sampai setengah jam sebelumnya, saya baru keluar dari kamar tidur. Saya melihat ada nasi uduk yang baru dibeli dan diletakkan di atas meja di ruang tengah. Televisi menyala. Suara kendaraan yang lalu lalang di depan rumah, riuh rendah.
Tapi dalam sekejap, semuanya sirna. Bumi berguncang hebat, air lautan tumpah ke darat. Sebagian kawasan tempat kami tinggal seketika telah rata disapu air bah. Dan tak hanya itu saja, kapal listrik diesel yang beratnya ribuan ton terseret dari pinggir lautan dan terdampar tak jauh dari tempat kami tinggal. Ketika melihat kapal listrik diesel itu, saya tak bisa berkata apa-apa. Sampai sekarang, satu rol negatif film tentang menit-menit awal pascatsunami tak pernah saya cetak. Saya tak cukup kuat untuk melihat kengerian yang saya abadikan -meski hampir sepuluh tahun sudah.
Comments
Post a Comment