Catatan Harian Seorang Komuter : Rezeki
foto: Raihan Lubis |
Perjalanan kereta balik itu begini, jika saya berangkat ke Jakarta, maka terlebih dahulu saya akan naik kereta jurusan Bogor dari Stasiun Cilebut -stasiun tempat saya naik yang berjarak satu stasiun dari Stasiun Bogor. Dan setelah itu, ketika kereta sudah tiba di Stasiun Bogor, dengan kereta yang sama saya akan melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Kalau kebetulan saya naik kereta balik jurusan Jakarta Kota, maka rezeki saya bertambah – selain dapat duduk juga mendapat jurusan kereta yang saya inginkan. Tapi kalau saya kebetulan naik kereta balik jurusan Tanah Abang – Jatinegara, maka dipastikan saya harus tetap berdiri 3-4 stasiun sebelum sampai di stasiun tujuan. Tapi tak apalah. Tetap harus bersyukur.
Pagi ini, saya berusaha mencari rezeki tempat duduk itu. Kalau saya sudah niat naik kereta balik, saya akan berangkat lebih pagi dari biasanya. Dan Alhamdulillah, kereta balik yang saya naiki adalah kereta jurusan Jakarta Kota. Sekitar 10 menit kereta ngetem di jalur tiga Stasiun Bogor. Setelah itu, kereta meluncur dengan manisnya menuju Jakarta. Dan karena saya berangkat agak pagi, saya masih terkantuk-kantuk, jadi dalam perjalanan dari Stasiun Bogor itu, tertidurlah saya.
Tiba-tiba saya tersentak bangun, ketika seorang mbak-mbak menepuk-nepuk paha saya.
“Mbak, mbak, geser dong,” katanya. Dengan rasa malas, saya menggeser duduk saya. Pasalnya tak ada ruang yang cukup sebenarnya. Si mbak itu kemudian juga membangunkan mas-mas di sebelah saya dan memaksanya juga untuk menggeser duduknya. Jadilah ada ruang sedikit di sana. Akhirnya si mbak-mbak yang berseragam Depkominfo itu nyempil di antara saya dan si mas di sebelah saya.
Terus terang saya dongkol, karena itu terjadi di stasiun di mana saya tadi naik kereta balik. Saya berusaha berangkat sepagi mungkin untuk dapat duduk, Dan sekonyong-konyong si mbak yang berseragam Depkominfo itu datang siang ke stasiun, terus dengan manisnya duduk nyempil di dekat saya, sehingga mendesak posisi duduk saya dan membuat tangan saya terjepit di antara tas yang ada di pangkuan saya dengan tubuh si mbak itu.
Kedongkolan saya bertambah ketika sepanjang perjalanan si mbak ini terus memainkan smartphonenya yang lumayan segede gaban, dimana posisi tangannya sangat mendesak ke dada saya. Iseng saya pelototi layar smartphonenya yang segede nampan itu. Oalah, ternyata si mbak ini lagi mau beli bulu mata palsu online. Dia sibuk melihat-lihat dan memilih-milih bulu mata palsu yang mau dibelinya.
Kereta kemudian jalan dengan pelan. Dan saya juga pelan-pelan memejamkan mata saya, meski sudah tidak bisa tertidur lagi.
Saya membuka mata saya kembali ketika sudah melewati satu stasiun. Bertambah penuh saja kereta dan bertambah banyak yang berdiri di depan saya. Dan diantara rerimbunan manusia di depan saya yang umumnya adalah para pria, sekonyong-konyong saya melihat sosok perempuan berbaju merah jambu. Saya lihat lagi, dan terlihat oleh saya salah satu tangannya memegang tongkat.
Setengah berdiri posisi saya, ketika mencolek tangannya. Seorang ibu buta rupanya. Karena jatuh iba, saya merelakan tempat duduk saya. Eh begitu saya bangkit, si mbak berseragam Depkominfo itu langsung menggeser duduknya sampai ke belakang penuh dan memberikan si ibu ruang duduk yang sedikit.
“Eh mbak, maju duduknya.. Itu kan tadi tempat duduk saya buat ibu ini, bukan buat mbak,” kata saya sewot. Dengan muka masam si mbak itu maju lagi duduknya.
Ketika ibu itu duduk, si mas yang duduk di sebelah saya juga baru ngeh kalau ternyata seorang laki-laki yang mungkin berumur 40-an -yang berdiri di depan si ibu ini juga buta. Serta merta, si mas yang semula duduk di samping saya itu, bangkit dan memberikan tempat duduknya.
Jadilah saya berdiri di antara sesaknya penumpang sampai 15 stasiun berikutnya. Begitulah kalau memang tidak rezeki – walau dikejar sampai ke Stasiun Bogor.
Oh ya, tentang si mbak berseragam Depkominfo itu, tetap duduk nyempil dong dengan manisnya sampai saya turun. Tapi mungkin itu rezeki dia ya :)
Comments
Post a Comment